SELAMAT DATANG DI BLOG ASUHAN KEPERAWATAN SEMOGA BERMANFAATKADEK WAHYU ADI PUTRAASUHAN KEPERAWATAN GRATIS

Friday 11 November 2011

HALUSINASI PERSEPTUAL

LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI PERSEPTUAL

A. Kasus (Masalah Utama)
Perubahan sensori perseptual : halusinasi

B. Pengertian
Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik (Stuart & Sundenn, 1998).

C. Proses Terjadinya Masalah
1. Penyebab
Rangsangan primer dari halusinasi adalah kebutuhan perlindungan diri secara psikologik terhadap kejadian traumatik sehubungan dengan rasa bersalah, rasa sepi, marah, rasa takut ditinggalkan oleh orang yang dicintai, tidak dapat mengendalikan dorongan ego, pikiran dan perasaannya sendiri.
Klien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti menikmati sesuatu. Juga keterangan dari klien sendiri tentang halusinasi yang dialaminya (apa yang dilihat, didengar atau dirasakan)

2. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala dari halusinasi adalah :
- berbicara dan tertawa sendiri
- bersikap seperti mendengar dan melihat sesuatu
- berhenti berbicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu
- disorientasi
- merasa ada sesuatu pada kulitnya
- ingin memukul atau melempar barang - barang
3. Akibat
Akibat dari halusinasi adalah resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Ini diakibatkan karena klien berada di bawah halusinasinya yang meminta dia untuk melakukan sesuatu hal di luar kesadarannya.

D. Pohon Masalah

Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

Perubahan sensori perseptual: halusinasi

Isolasi sosial : menarik diri

E. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji
1. Masalah keperawatan
a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Perubahan sensori perseptual : halusinasi
c. Isolasi sosial : menarik diri
2. Data yang perlu dikaji
a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
1). Data Subyektif :
 Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
 Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
 Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
2). Data Objektif :
 Mata merah, wajah agak merah.
 Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak, menjerit, memukul diri sendiri/orang lain.
 Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
 Merusak dan melempar barang barang.
b. Perubahan sensori perseptual : halusinasi
1) Data Subjektif
a) Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata
b) Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata
c) Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus
d) Klien merasa makan sesuatu
e) Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya
f) Klien takut pada suara/bunyi/gambar yang dilihat dan didengar
g) Klien ingin memukul/melempar barang-barang
2) Data Objektif
a) Klien berbicar dan tertawa sendiri
b) Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu
c) Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu
d) Disorientasi
c. Isolasi sosial : menarik diri
1) Data Subyektif
Sukar didapat jika klien menolak komunikasi, kadang hanya dijawab dengan singkat ”tidak”, ”ya”.
2) Data Obyektif
Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul, menyendiri/menghindari orang lain, berdiam diri di kamar, komunikasi kurang atau tidak ada (banyak diam), kontak mata kurang, menolak berhubungan dengan orang lain, perawatan diri kurang, posisi tidur seperti janin (menekur)

F. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perubahan sensori perseptual : halusinasi
2. Perubahan sensori perseptual : halusinasi berhubungan dengan menarik diri.

G. Rencana Tindakan Keperwatan
Diagnosa keperawatan 1 : Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perubahan sensori perseptual : halusinasi
1. Tujuan umum :
Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
2. Tujuan khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
ٱ Salam terapeutik – perkenalan diri – jelaskan tujuan – ciptakan lingkungan yang tenag – buat kontrak yang jelas (waktu, tempat, topik)
ٱ Beri kesempatan mengungkapkan perasaan
ٱ Empati
ٱ Ajak membicarakan hal-hal yang ada di lingkungan

b. Klien dapat mengenal halusinasinya
Tindakan :
ٱ Kontak sering dan singkat
ٱ Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi (verbal dan non verbal)
ٱ Bantu mengenal halusinasinya dengan menanyakan apakah ada suara yang didengar dan apa yang dikatakan oleh suara itu. Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, tetapi perawat tidak mendengarnya. Katakan bahwa perawat akan membantu
ٱ Diskusi tentang situasi yang menimbulkan halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi serta apa yang dirasakan saat terjadi halusinasi
ٱ Dorong untuk mengungkapkan perasaan saat terjadi halusinasi

c. Klien dapat mengontrol halusinasinya
Tindakan :
ٱ Identifikasi bersama tentang cara tindakan jika terjadi halusinasi
ٱ Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien dan cara baru untuk mengontrol halusinasinya
ٱ Bantu memilih dan melatih cara memutus halusinasi : bicara dengan orang lain bila muncul halusinasi, melakukan kegiatan, mengatakan pada suara tersebut “saya tidak mau dengar”
ٱ Tanyakan hasil upaya yang telah dipilih/dilakukan
ٱ Beri kesempatan melakukan cara yang telah dipilih dan beri pujian jika berhasil
ٱ Libatkan klien dalam TAK : stimulasi persepsi

d. Klien dapat dukungan dari keluarga
Tindakan :
ٱ Beri pendidikan kesehatan pada pertemuan keluarga tentang gejala, cara, memutus halusinasi, cara merawat, informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat bantuan
ٱ Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga

e. Klien dapat menggunakan obat dengan benar
Tindakan :
ٱ Diskusikan tentang dosis, nama, frekuensi, efek dan efek samping minum obat
ٱ Bantu menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama pasien, obat, dosis, cara, waktu)
ٱ Anjurkan membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan
ٱ Beri reinforcement positif klien minum obat yang benar.

Diagnosa keperawatan 2 : Perubahan sensori perseptual : halusinasi berhubungan dengan menarik diri.
1. Tujuan Umum :
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi
2. Tujuan Khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan:
Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik dengan cara :
ٱ sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
ٱ perkenalkan diri dengan sopan
ٱ tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
ٱ jelaskan tujuan pertemuan
ٱ jujur dan menepati janji
ٱ tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
ٱ berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien

b. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Tindakan
ٱ Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
ٱ Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri atau mau bergaul
ٱ Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta penyebab yang muncul
ٱ 2.1. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya

c. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Tindakan :
ٱ Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan orang lain
ٱ beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan prang lain
ٱ diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain
ٱ beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain

d. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain
Tindakan
ٱ beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang lain
ٱ diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
ٱ beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain

e. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial
Tindakan
ٱ kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
ٱ dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain melalui tahap :
- K – P
- K – P – P lain
- K – P – P lain – K lain
- K – Kel/Klp/Masy
ٱ Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai
ٱ Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
ٱ Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu
ٱ Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
ٱ Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan

f. Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain
Tindakan
ٱ Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang lain
ٱ Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan orang lain
ٱ Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan manfaat berhubungan dengan orang lain.

g. Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga
Tindakan
ٱ Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
- salam, perkenalan diri
- jelaskan tujuan
- buat kontrak
- eksplorasi perasaan klien
ٱ Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
- perilaku menarik diri
- penyebab perilaku menarik diri
- akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi
- cara keluarga menghadapi klien menarik diri
ٱ Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada klien untuk berkomunikasi dengan orang lain
ٱ Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien minimal satu kali seminggu
ٱ Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh keluarga


















DAFTAR PUSTAKA

1. Stuart GW, Sundeen, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC, 1995
2. Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
3. Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino Gonohutomo, 2003
4. Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP Bandung, 2000

Thursday 10 November 2011

KELAINAN HEMATOLOGI

KELAINAN HEMATOLOGI

Kelainan henatologi yang sering terjadi adalah adanya penurunan sirkulasi jumlah sel darah merah. kondisi ini dinamakan ANEMIA. Anemia daoat terjadi akibat sel darah merah oleh sum - sum tulang berkurang atau tingginya penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi. Berkurangnya sel darah merah dapat disebabkan oleh kekurangan faktor untuk eritropesis, seperti : asam folat,vitamin B12, dan besi. Produksi sel darah merah juga dapat turun apabila sum - sum tulang tertekan (oleh tumor atau obat) atau rangsangan tidak memadai karena kekurangan eritropoetin, seperti yang terjadi pada penyakit ginjal kronis.

ANEMIA

PENGERTIAN
Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hiyung sel darah merahdan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal. Secara fisiologi anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk menyangkut oksigen ke jaringan.
PATHOFISIOLOGI
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sum - sum atau kehilangan sel darah merah berlebihan / keduanya. Kegagalan sum - sum (mis : berkurangnya eritropoesis) dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan tolsik, inuasi tumor.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam sistem retikuloedotelial, terutama dalam hati dan limpha. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin yang terbentuk dalam fagosit, akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma.
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, seperti yang terjadi pada berbagai kelainan hemolitik, maka hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya (mis : apabila jumlah lebih dari sekitar 100mg / dl), hemoglobin akan terdisfusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urin (hemoglobinuris).

MANIFESTASI KLINIS
Selain beratnya anemia, berbagai factor mempengaruhi berat dan adanya gejala :
1. Kecepatan kejadian anemia
2. Durasinya (mis : kronisitas)
3. Kebutuhan metabolisme pasien bersangkutan
4. Adanya kelainan lain atau kecacatan
5. Komplikasi tertentu atau keadaan penyerta kondisiyang mengakibatkan anemia

KOMPLIKASI
Komplikasi anemia meliputi :
1. Gagal jantung
2. Parestesia
3. Kejang

PENATALAKSAAN
Penatalaksaan anemia ditujukan untuk mencari penyebab dan mengganti darah yang hilang.

PROSES KEPERAWATAN PASIEN ANEMIA
Pengkajian :
1. Riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik akan memberikan data mengenai masalah dan keluhan pasien, seperti : kelemahan, kelelahan, dan malaise umum sering terjadi, demikian juga kulit dan membrane mukosa yang menjadi pucat.
2. Status jantung harus dikaji dengan teliti.
3. Peningkatan beban jantung tersebut mengakibatkan berbagai gejala, seperti : takikardi, palpitasi, dispneu, pusing, ortopneu, dan dispneu saat latihan. Selanjutnya akan terjadi gagal jantung kongestif, yang tandai dengan adanya pembesaran jantung (kardiomegali) dan pembesaran hati (hepatomegaly) dan dan edema perifer.
4. Pemeriksaan neurologis juga penting karena efek anemia pernigiosa pada system saraf pusat dan perifer. Pasien dikaji mengenai adanya baal dan parestesia periger. Atalisia, gangguan koordinasi dan kejang. Pengkajian fungsi gastrointenstinal dapat mengungkapkan keluhan mual, muntah, diare anoreksia dan glositis (peradangan lidah).

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Intoleransi aktivtas berhubungan dengan kelelahan, kelemahan dan malaise umum.
2. Kekurangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh, berhubungan dengan kekurangan asupan nutrisi esensial.

INTERVENSI KEPERAWATAN
Tujuan :
Tujuan utama meliputi toleransi terhadap aktivitas, pencapaian atau pemeliharaan nutrisi yang adikuat dan tidak adanya komplikasi.
Intervensi
a. Promosi istirahat dan aktifitas. Pasien didorong untuk menjaga kekuatan dan energy fisik dan emosional, dianjurkan istirahat yang sering dan dukungan keluarga diperlukan untuk menjaga suasana istirahat, jadwal teratur mengenai istirahat dan tidur wajib untuk mempertahankan kekuatan dan toleransi terhadap aktivitas, dianjurkan untuk tetap bergerak aktif sejauh yang dapat ditoleransi.
b. Menjaga nutrisi yang adekuat, kekurangan asupan nutisi asensial, seperti besi dan asam folat, dapat mengakibatkan anemia tertentu. Diet yang seimbang dengan makanan yang tinggi protein, tinggi kalori, buah – buahan dan sayuran sangat diperlukan. Alcohol akan mempengaruhi pembangunan nutrisi esensial. Makanan berbumbu yang mengiritasi lambung dan makanan yang banyak menghasilkan gas yang harus dihindari.
c. Monitor dan penatalasaan komplikasi dengan adanya kekurangan oksihemoglobin yang berlangsung lama. Jantung menjadi kurang mampu menyuplai darah kejaringan yang mengalami hipoksia, jantung kemudian mengalami pembesaran, curah jantung menurun, dan terjadi gagal jantung kongestif.
d. Pasien didorong untuk mengidentifikasi situasi yang menyebabkan palpitasi dan dispnu dan menghindarinya sampai anemianya sembuh. Pasien dipantau mengenai adanya parektesia (missal : memar yang tidak jelas penyebabnya atau luka bakar pada ekstremitas bawah). Gangguan ataksia, dan kejang. Harus dilakukan upaya pengamanan untuk mencegah cidera.

PROPOSAL DIARE

2.1 Konsep Dasar Penyakit Diare
2.1.1 Pengertian
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cairan atau setengah cair (setengah padat), dengan demikian kandungan air pada tinja lebih banyak dari biasanya (normal 100-200 ml per jam tinja). (Daldiyono, 1990).
Diare adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami defekasi sering dengan feses cair, atau feses tidak berbentuk. (Carpenito, 2000)
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja yang lebih banyak dari biasanya (normal 100-200 ml per jam tinja), dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat). (Mansjoer, 2001).
Diare adalah peningkatan keenceran dan frekuensi tinja (Corwin, 2000).





2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan

Keterangan
1. Kelenjar ludah
2. Parotis
3. Submandibularis (bawah rahang)
4. Sublingualis (bawah lidah)
5. Rongga mulut
6. Tekak / Faring
7. Lidah
8. Kerongkongan / Esofagus
9. Pankreas
10. Lambung
11. Saluran pankreas
12. Hati
13. Kantung empedu
14. Usus dua belas jari (duodenum)
15. Saluran empedu
16. Usus tebal / Kolon
17. Kolon datar (tranverse)
18. Kolon naik (ascending)
19. Kolon turun (descending)
20. Usus penyerapan (ileum)
21. Sekum
22. Umbai cacing
23. Poros usus / Rektum
24. Anus



Gambar 2.1 Anatomi Saluran Pencernaan. (Aderson, Paul .1996).
(Icon Learning Systems All Rights Reserved. 2003).
Saluran Pencernaan
Saluran pencernaan makanan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses pencernaan (pengunyahan, penelanan dan pencampuran) dengan enzim dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut (oris) sampai anus (Sayaifuddin, 1997)
a. Mulut, Tenggorokan & Kerongkongan.
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan dan sistem pernafasan. Bagian dalamdari mulut dilapisi oleh selaput lendir.
Saluran dari kelenjar liur di pipi, dibawah lidah dan dibawah rahang mengalirkan isinya ke dalam mulut. Di dasar mulut terdapat lidah, yang berfungsi untuk merasakan dan mencampur makanan. Di belakang dan dibawah mulut terdapat tenggorokan (faring).Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan lidah. Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman lebih rumit, terdiri dari berbagai macam bau. Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan dikunyah oleh gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Pada saat makan, aliran dari ludah membersihkan bakteri yang bisa menyebabkan pembusukan gigi dan kelainan lainnya. Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung.
Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut secara otomatis. Epiglotis akan tertutup agar makanan tidak masuk ke dalam pipa udara (trakea) dan ke paru-paru, sedangkan bagian atap mulut sebelah belakang (palatum mole, langit-langit lunak) terangkat agar makanan tidak masuk ke dalam hidung.
Kerongkongan (esofagus) merupakan saluran berotot yang berdinding tipis dan dilapisi oleh selaput lendir. Kerongkongan menghubungkan tenggorokan dengan lambung. Makanan didorong melalui kerongkongan bukan oleh gaya tarik bumi, tetapi oleh gelombang kontraksi dan relaksasi otot ritmik yang disebut dengan peristaltik.
b. Lambung
Lambung merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang keledai, terdiri dari 3 bagian yaitu kardia, fundus dan antrum.
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk cincin (sfingter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal, sfingter menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan.
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim.
Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting:
1) Lendir
2) Asam klorida
3) Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein).
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung dan enzim.
Setiap kelainan pada lapisan lendir ini (apakah karena infeksi oleh bakteri Helicobacter pylori atau karena aspirin), bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah kepada terbentuknya tukak lambung.
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
Pelepasan asam dirangsang oleh:
a) Saraf yang menuju ke lambung.
b) Gastrin (hormon yang dilepaskan oleh lambung).
c) Histamin (zat yang dilepaskan oleh lambung).
Pepsin bertanggung jawab atas pemecahan sekitar 10% protein. Pepsin merupakan satu-satunya enzim yang mencerna kolagen, yang merupakan suatu protein dan kandungan utama dari daging.
Hanya beberapa zat yang bisa diserap langsung dari lambung (misalnya alkohol dan aspirin) dan itupun hanya dalam jumlah yang sangat kecil.
c. Usus halus
Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian pertama dari usus halus.
Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa dicerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan mengirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan. Duodenum menerima enzim pankreatik dari pankreas dan empedu dari hati. Cairan tersebut (yang masuk ke dalam duodenum melalui lubang yang disebut Sfingter Oddi) merupakan bagian yang penting dari proses pencernaan dan penyerapan. Gerakan peristaltik juga membantu pencernaan dan penyerapan dengan cara mengaduk dan mencampurnya dengan zat yang dihasilkan oleh usus.
Beberapa senti pertama dari lapisan duodenum adalah licin, tetapi sisanya memiliki lipatan-lipatan, tonjolan-tonjolan kecil (vili) dan tonjolan yang lebih kecil (mikrovili). Vili dan mikrovili menyebabkan bertambahnya permukaan dari lapisan duodenum, sehingga menambah jumlah zat gizi yang diserap. Sisa dari usus halus, yang terletak dibawah duodenum, terdiri dari jejunum dan ileum. Bagian ini terutama bertanggungjawab atas penyerapan lemak dan zat gizi lainnya. Penyerapan ini diperbesar oleh permukaannya yang luas karena terdiri dari lipatan-lipatan, vili dan mikrovili.
Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Kepadatan dari isi usus berubah secara bertahap, seiring dengan perjalanannya melalui usus halus.
Di dalam duodenum, air dengan cepat dipompa ke dalam isi usus untuk melarutkan keasaman lambung. Ketika melewati usus halus bagian bawah, isi usus menjadi lebih cair karena mengandung air, lendir dan enzim-enzim pankreatik.
d. Pankreas
Pankreas merupakan suatu organ yang terdiri dari 2 jaringan dasar :
1) Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan
2) Pulau pankreas, menghasilkan hormon.
Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan melepaskan hormon ke dalam darah. Enzim-enzim pencernaan dihasilkan oleh sel-sel asini dan mengalir melalui berbagai saluran ke dalam duktus pankreatikus. Duktus pankreatikus akan bergabung dengan saluran empedu pada sfingter Oddi, dimana keduanya akan masuk ke dalam duodenum.
Enzim yang dilepaskan oleh pankreas akan mencerna protein, karbohidrat dan lemak. Enzim proteolitik memecah protein ke dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan dilepaskan dalam bentuk inaktif. Enzim ini hanya akan aktif jika telah mencapai saluran pencernaan. Pankreas juga melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat, yang berfungsi melindungi duodenum dengan cara menetralkan asam lambung.
e. Hati
Hati merupakan sebuah organ yang besar dan memiliki berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan. Zat-zat gizi dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya akan pembuluh darah yang kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan darah ke dalam vena yang bergabung dengan vena yang lebih besar dan pada akhirnya masuk ke dalam hati sebagai vena porta.
Vena porta terbagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil di dalam hati, dimana darah yang masuk diolah.
Darah diolah dalam 2 cara:
1) Bakteri dan partikel asing lainnya yang diserap dari usus dibuang
2) Berbagai zat gizi yang diserap dari usus selanjutnya dipecah sehingga dapat digunakan oleh tubuh.
Hati melakukan proses tersebut dengan kecepatan tinggi, setelah darah diperkaya dengan zat-zat gizi, darah dialirkan ke dalam sirkulasi umum. Hati menghasilkan sekitar separuh dari seluruh kolesterol dalam tubuh, sisanya berasal dari makanan. Sekitar 80% kolesterol yang dihasilkan di hati digunakan untuk membuat empedu. Hati juga menghasilkan empedu, yang disimpan di dalam kandung empedu.
f. Kandung empedu & Saluran empedu
Empedu mengalir dari hati melalui duktus hepatikus kiri dan kanan, yang selanjutnya bergabung membentuk duktus hepatikus umum. Saluran ini kemudian bergabung dengan sebuah saluran yang berasal dari kandung empedu (duktus sistikus) untuk membentuk saluran empedu umum. Duktus pankreatikus bergabung dengan saluran empedu umum dan masuk ke dalam duodenum. Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu dan hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati.
Makanan di dalam duodenum memicu serangkaian sinyal hormonal dan sinyal saraf sehingga kandung empedu berkontraksi.
Sebagai akibatnya, empedu mengalir ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan.
1) Empedu memiliki 2 fungsi penting:
a) Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
b) Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.

2) Secara spesifik empedu berperan dalam berbagai proses berikut :
a) Garam empedu meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses penyerapan.
b) Garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu menggerakkan isinya.
c) Bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu sebagai limbah dari sel darah merah yang dihancurkan.
d) Obat dan limbah lainnya dibuang dalam empedu dan selanjutnya dibuang dari tubuh.
e) Berbagai protein yang berperan dalam fungsi empedu dibuang di dalam empedu.
Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Seluruh garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok ini diserap kembali dan sisanya dibuang bersama tinja


g. Usus besar
Usus besar terdiri dari :
1) Kolon asendens (kanan)
2) Kolon transversum
3) Kolon desendens (kiri)
4) Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum).
Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri di dalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
h. Rektum & Anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda buang air besar.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus. Suatu cincin berotot (sfingterani) menjaga agar anus tetap tertutup.









Gambar 2.2 Anatomi Rektum dan Anus.
(Icon Learning Systems All Rights Reserved. 2003)

Gambar 2.2 Anatomi Rektum dan Anus
(Icon dan Learning System All Right Reserver. 2003)









i. Fisiologis Pencernaan
Sistem pencernaan (mulai dari mulut sampai anus) berfungsi sebagai berikut :
1) Menerima makanan
2) Memecah makanan menjadi zat-zat gizi (suatu proses yang disebut pencernaan)
3) Menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah
4) Membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna dari tubuh.
Jumlah makanan yang dicerna seseorang dan jenisnya adalah tergantung dari kemauan dan seleranya. Mekanisme ini ada dalam tubuh seseorang dan merupakan sistem pengaturan yang otomatis.
Makanan masuk melalui mulut kemudian dikunyah oleh gigi, gigi anterior (insisivus) menyediakan kerja memotong yang kuat dan gigi posterior (molar), kerja menggiling. Semua otot rahang yang bekerja dengan bersama- sama dapat mengatupkan gigi dengan kekuatan sebesar 55 pound pada insisivus dan 200 pound pada molar.
Setelah itu makanan ditelan, menelan merupakan mekanisme yang kompleks, terutama faring yang hampir setiap saat melakukan fungsi lain disamping menelan makanan dan hanya diubah dalam beberapa detik dalam traktus untuk mendorong makanan.
Esophagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan dari faring ke lambung dan gerakannya diatur secara khusus untuk melakukan fungsi tersebut.
Fungsi lambung ada tiga, yaitu penyimpanan sejumlah besar makanan sampai makanan dapat diproses didalam duodenum, pencampuran makan ini dengan sekresi setengan cair yang disebut dengan kimus. Pengosongan makanan dengan lamat dari lambung ke usus halus pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorpsi yang tepat oleh usus halus.
Makanan akan digerakkan dengan melakukan gerakan pristaltik. Pristaltik usus yang normal adalah 12 kali per menit. Makanan kemudian akan didorong ke usus besar dan akan diabsorpsi baik air, elektrolit, dan penimbunan bahan feces di rektum sampai dapat dikeluarkan melalui anus melalui proses defekasi.
(Sloane, 2004)
2.1.3 Etiologi
Menurut Suriadi (2001) penyebab Gastroentritis (diare) dapat di bagi menjadi beberapa faktor :
a. Faktor Infeksi
1) Infeksi Internal
Infeksi enteral; infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama dari diare, meliputi infeksi bakteri (Vibrio, Eschericia coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dan sebagainya), infeksi virus (Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dan lain-lain), infeksi parasit (E. hystolytica, G.lamblia, Tricomonas hominis) dan jamur (Canida albicans).
2) Infeksi Parentral
Infeksi parenteral; merupakan infeksi di luar sistem pencernaan yang dapat menimbulkan diare seperti: otitis media akut, tonsilitis, bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya.
4) Faktor Malabsorpsi
Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Intoleransi laktosa merupakan penyebab diare yang paling penting. Di samping itu dapat pula terjadi malabsorbsi lemak dan protein.
5) Faktor Makanan
Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi, beracun dan alergi terhadap jenis makanan tertentu.
6) Faktor Psikologis
Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan cemas).
7) Bukan Faktor Infeksi
a. Alergi makanan
b. Gangguan metabolik atau malabsorbsi ; Penyakit celiac, Cystic fibrosis pada pankreas.
c. Iritasi lambung pada saluran pencernaan oleh makanan.
d. Obat-obatan ; Antibiotik.
e. Penyakit usus ; Colitis ulcerative, Crohn disease, Enterocolitis.
f. Emosianal atau stress.
g. Obstruksi usus.
h. Penyakit infeksi ; Otitis media, Infeksi saluran nafas atas, Infeksi saluran kemih.
8) Penyebab Khusus Penyakit Diare
Ada beberapa virus, bakteri, dan parasit yang menyebabkan penyakit diare. Rotavirus merupakan virus paling penting yang menyebabkan diare. Penyebab umum dari infeksi bakteri meliputi Eschericia coli, Salmonella, Shigella, Camylobakter, dan spisies Yersinia. Infeksi parasit yang penting meliputi Giardia dan spesies Cryptosporidium, dan Entamoeba histolitika. (Brunner & Suddarth, 2001).
2.1.4 Pathofisiologi
Penyebab Diare adalah masuknya virus (Rotravirus, Adenovirus enteris, Virus Norwalk), Bakteri atau toksin (Compylobacter, Salmonella, Escherihia Coli, Yersinia dan lainnya), parasit (Biardia Lambia, Cryptosporidium). Beberapa mikroorganisme patogen ini menyebabkan infeksi pada sel-sel, memproduksi Enterotoksin atau Cytotoksin dimana merusak sel-sel, atau melekat pada dinding usus pada Diare.
Penularan gastroenteritis bisa melalui fekal-oral dari satu klien ke klien yang lainnya. Beberapa kasus ditemui penyebaran patogen dikarenakan makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare ). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan mutilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (asidosis metabolik dan hipokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan gangguan sirkulasi darah.
2.1.5 Tanda dan gejala
Menurut Baughman (2000), tanda dan gejala penyakit Gastroenteritis adalah:
a. Peningkatan frekuensi dan kandungan cairan dalam feses
b. Kram abdomen, distensi, bising usus (borborigmus), anoreksia dan rasa haus
c. Kontraksi spasmodik yang sakit dari anus dan mengejan tidak efektif (tenesmus) mungkin terjadi setiap defekasi
d. Sifat dan awitannya sangat eksplosit dan bertahan. Gejala yang terkait adalah dehidrasi dan kelemahan
e. Feses yang banyak mengandung air menandakan penyakit usus halus
f. Feses yang lunak, semi padat berkaitan dengan kelainan kolon
g. Feses berwarna ke abu-abuan menandakan malabsobsi usus
h. Mukus dan pus dalam feses menunjukkan enteritis imflamasi/ kolitis
i. Bercak minyak dalam pada air toilet merupakan diagnostik dari insufisiensi pankreas
j. Diare noktural mungkin merupakan manifestasi neuropati diabetik
2.1.6 Pemeriksaan Penunjuang
Menurut Iin (2004), pemeriksaan penunjang penyakit Gastroenteritis adalah:
a. Pemeriksaan Laboraturium
1) LED
2) Hipokalsemia
3) Avitominosis D
4) Serum albumen tinggi
5) Fosfatase alkali
6) Masa protombin
b. Radiologi
c. Koloskopi
2.1.7 Komplikasi
Beberapa komlikasi dari Gastrointeritis menurut Brunner & Suddarth (2001) adalah:
a. Disritmia jantung akibat hilangnya cairan dan elektrolit secara bermakna (khususnya kalium)
b. Pengeluaran urine kurang dari 30 ml/jam selama 2-3 jam berturut-turut
c. Kelemahan otot
d. Hipotensi, anoreksia, dan mengantuk
e. Malnutrisi energi protein (akibat muntah dan diare jika lama atau kronik)
2.1.8 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaam Diare Akut
Pada orang dewasa, penatalaksanaan diare akut akibat infeksi terdiri atas :
1) Rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan empat hal peniting yang perlu diperhatikan adalah :
a). Jenis Cairan
Pada diare akut yang ringan dapat diberikan oralit. Diberikan cairan ringer laktat bila tak tersedia diberikan cairan NaCl isotonik ditambah 1 ampul Na bikarbonat 7,5% 50 ml.

b). Jumlah Cairan
Jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang dikeluarkan.
Kehilangan cairan tubuh dapat dihitung dengan beberapa cara :
Tabel : 2.1 Metode Pierce yang berdasarkan keadaan klinis
Derajat dehidrasi Kebutuhan cairan (X Kg BB)
Ringan
Sedang
Berat 50 %
8 %
10 %
(Manjoer, 2000)

c). Jalan masuk atau cara pemberian cairan
Rute pemberian cairan pada orang dewasa dapat dipilih oral atau IV
d). Jadwal pemberian cairan
2) Identifikasi penyebab diare akut karena infeksi secara klinis. Tentukan jenis diare koleriform atau disentriform. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan penunjang yang terarah
a). Terapi simtomatik
Obat anti diare bersifat simtomatik dan berikan sangat hati-hati atas pertimbangan yang rasional.
Tabel : 2.2 Sifat beberapa golongan obat anti diare
Sifat Golongan
Antimotilitas dan sekresi usus



Anfiemetik Turunan oprat
Difenoksilat (Lomitol )
Loperamid (Imodium )
Kodein Hcl/ fosfat
Metoklopropami D
proklorprazin
Domperidon
(Manjoer, 2000)

b) Terapi Definitif
Pemberian edukasi yang sangat jelas sangat penting sebagai langkah pencegahan. Higiene perorangan, sanitasi lingkungan dan imunisasi melalui faksinasi sangat berarti. Selain terapi farmakologi yang tertera pada tabel berikut.
Tabel : 2.3 daftar obat dan dosis penyebab diare
Penyebab Obat Dosis (per hari ) Jangka
Waktu
Kolera eltor



E. Coli
Salmonelosis


Shignelosis

Amebiasis



Giardiasis


Kandidosis
Virus
Tetrasiklin
Kortimoksazol
Kloramfenikol
Tak memerlukan terapi
Ampisilin
Kortimoksazol
Siprofloksasin
Ampisilin
Kloramfenikol
Metronidazol
Tinidazol
Secnidazol
Tetrasiklin
Kuinakrin
Klorokoin
Metronodazol
Mikosfatin
Simtomatik dan Suportif 4 x 500 mg
2 x 3 tab ( awal)
2 x 2 tab
4 x 500 mg
4 x 1 g
4 x 500 mg
2 x 500 mg
4 x 1 g
4 x 500 mg
4 x 500 mg
1 x 2 g
1 x 2 g
4 x 500 mg
3 x 100 mg
3 x 100 mg
3 x 250 mg
3 x 500.000 unit
3 hari

6 hari
7 hari
10-14 hari
10-14 hari
3-5 hari
5 hari
5 hari
3 hari
3 hari
3 hari
10 hari
7 hari
5 hari
7 hari
10 hari

(Mansjoer, 2000)

b. Pentalaksanaan diare kronik
1). Simtomatik
a). Rehidrasi
Oralit , cairan infus yaitu Ringer Laktat, Dekstrose 5% , dekstrose dalam salin.
b). Antispasmodik, antikolinergik (antagonis stimuluskoli- nergik pada reseptor muskarinik)
Tabel 2.4 Contoh Obat antispasmodik
Contoh Obat Dosis
Papaverin
Mebeverin
Propantelin
Hiosion N – butil bromida
(Buscopan) 3x/hari
3-4 tab/hari
3 x 15 mg / hari
3 x 1 tab/ hari
(Mansjoer, 2000)

c). Obat anti diare
(1) Obat antimotilitas dan seksresi usus
(a) Loperamid ( imodium) : 4 mg peroral ( dosis awal ) lalu tiap tinja cair diberikan 2 mg, dengan dosis maksimal 16 mg / hari.
(b) Difenoksilat ( lomotil) : 4 x 5 mg ( 2 tablet)
(c) Kodein foafat : 15-60 mg tiap 6 jam
(2) Okteroid (sandostatin)
Telah dicoba dengan hasil memuaskan pada diare sekretorik
(3) Obat anti diare yang mengeraskan tinja dan absorpsi zat, yaitu :
(a) Arang / Charcoal aktif ( norit ) : 1-2 tablet , diualang sesuai kebutuhan .
(b) Campuran Kaolin dan morfin (Mengandung 700 mikrogram / 10 anhy drous morfin).

2) Antiemetik (metoklopropamid, proklorprazin, domperidon)
3) Vitamin dan mineral , tergantung kebutuhan yaitu:
a) Vitamin B12 asam folat, Vitamin A, Vitamin K
b) Preparat besi, zinc dan lain-lain
4) Obat ekstak enzim pankreas
5) Alumunium hidroksida, memiliki efek konstipasi dan mengikat asam empedu.
6) Fenitiazin dan nikotinak, menghambat sekresi anion usus.
7) Kausal
Pengobatan keusal diberikan pada infeksi meupun noninfeksi. Pada diare kronik penyebab infeksi, obat diberikan berdasarkan etiologinya.
Tabel : 2.5. Daftar obat dan dosis berdasarkan penyebab diare kronik
Etiologi Obat Dosis Jangka Waktu
Shigella SP



H. Jejuni

Salmonelosis


C. dificille

ETEC Ampisilin
Kormoksazol
Siprofloksasin
tetrasiklin
Eritromisin
Siprofloksasin
Kloramfenikol
Peflasin
Siprofloksasin
Vankomisin
Metronidazol
Trimetoprim
Siprofloksasin
Kortimoksazol 2 x 1 g
2 x 2 tab
2 x 500 mg
4 x 500 mg
4 x 250-500 mg
2 x 500 mg
4 x 500 mg
1 x 400 mg
2 x 500 mg
4 x 125 mg
3-4 x 1,5-2 g
3 x 200 mg
1 x 500 mg
2 x 2 ta 5-7 hari
1 den
1 dem
1 dem
1 dem
5 hari
14 hari
7 hari
7 hari
7-10 hari
1 dem
3 hari
1 dem
1 dem
(Manjoer, 2000).


2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Klien Gastroenteritis
Proses keperawatan merupakan cara yang sistematis yang dilakuka oleh perawat bersama klien dalam menentukan kebutuhan asuhan keperawatan dengan melakukan pengkajian, menentukan diagnosa, merencanakan tindakan yang akan dilakukan, melaksanakan tindakan serta mengevaluasi hasil asuhan yang telah diberikan dengan berfokus pada klien, berorientasi pada tujuan pada setiap tahap saling terjadi ketergantungan dan saling berhubungan.
(Hidayat, 2004).
Asuhan keperawatan adalah suatu rangkaian kegiatan yang diberikan melalui praktek keperawatan kepada keluarga. Untuk membantu menyelesaikan masalah kesehatan keluarga tersebut dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan. (Depkes RI, 1998)
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara lengkap dan sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan keperawatan yang dihadapi pasien baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual dapat ditentukan (Ali, 1997).





Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi :
a. Pengumpulan Data
1) Identitas
a). Identitas Klien
Penyakit Gastroenteritis akut dapat menyerang pada semua manusia baik laki-laki maupun perempuan dan tidak mengenal status dan golongan usia.
2) Keluhan Utama
Biasanya pasien datang dengan keluhan BAB lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi feces encer berwarna kehijauan dan disertai demam.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya pasien Buang Air Besar (BAB) dengan konsistensi cair berkali-kali baik atau tanpa muntah, tinja dapat bercampur lendir atau darah, keluhan lain yang mungkin didapatkan yaitu nafsu makan menurun, suhu badan meningkat, volume deuresis menurun dan gejala penurunan kesadaran.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan pada diare kronik dan berulang. Riwayat operasi intra abdomen sering mengakibatkan perlengketan dengan statis ringan yang kadang-kadang menimbulkan pertumbuhan bakteri berlebihan, sehingga timbul kembung, flatulen dan diare, selain itu keterangan tentang obat yang diminum perlu ditanyakan.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Peranan keluarga atau keturunan merupakan factor penyebab penting yang perlu dikaji yaitu penyakit berat yang pernah diderita salah satu anggota yang ada hubungannya dengan penyakit keturunan, misalnya: Tubercolosis paru, hipertensi, asma.
6) Pola Kebiasaan Sehari-hari
Lingkungan kotor seperti tempat tinggal di pinggir sungai dan memasak, mandi, mencuci, minum dengan memakai air sungai.
7) Pemeriksaan Fisik
a). Keadaan umum
Secara umum pada klien Gastroenteritis: baik, sadar (tanpa dehidrasi). Gelisah, rewel (dehidrasi ringan/sedang). Lesu, lunglai, atau tidak sadar (dehidrasi berat).
b). Kesadaran
Klien ditemukan dalam tingkat composmentis sampai koma.
c). Tanda-tanda Vital
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan suhu tubuh, biasa normal dan juga bisa meningkat, nadi meningkat, tekanan darah menurun dan respirasi cepat dan dalam.
d). BB/TB
Penurunan Barat Badan (BB) atau kegagalan untuk meningkatkan berat badan.
e). Pemeriksaan Head to toes
(1). Kepala
(a). Rambut
Perlu dikaji tentang bentuk kepala, ubun yang cekung, kesemetrisan, keadaan kulit kepala, rambut agak tipis dan merah.
(b). Mata
Bentuk mata cowong, konjungtiva anemis, dan mata sayup. Klien yang diare tanpa dehidrasi, bentuk kelopak matanya normal, apabila mengalami dehidrasi ringan/sedang kelopak matanya cekung (cowong), sedangkan apabila mengalami dehidrasi berat kelopak matanya sangat cekung.
(c). Hidung
Ada tidaknya deviasi septum nasi, polip, serta bagaimana kebersihannya.
(d). Mulut
Mengeluh haus, mukosa bibir kering, kebersihan mulut kurang bersih.
• Mulut dan lidah basah (tanpa dehidrasi)
• Mulut dan lidah kering (dehidrasi ringan sedang)
• Mulut dan lidah sangat kering (dehidrasi berat)
(e). Telinga
Kesimetrisan, kebersihan, ada tidaknya kelaianan fungsi pendengaran ataupun kelainan anatomis.
(2). Leher
Ada tidaknya pembesaran kelenjar tyroid dan vena jugularis.
(3). Abdomen
Orang yang menderita diare terjadinya distensi abdomen, nyeri tekan, asites, terjadinya peningkatan bising usus, pembesaran hati dan limpa.
(4). Integument
Meliputi warna, kebersihan kulit, turgor kulit yang menurun.
(5). Thorax
Dikaji kesemetrisannya, ada tidaknya suara redup, pada perkusi, kesemetrisan ekspansi dada, ada tidaknya suara ronchi dan wheezing serta ada tidaknya penurunan suara nafas.
(6). Anus
Daerah anus merah oleh karena keseringan Buang Air Besar (BAB).
8) Pemeriksaan Penunjang
a). Pemeriksaan tinja: Makroskopis dan mikroskopis. PH dan kadar gula jika diduga ada intoleransi gula (sugar intolerence) biarkan kuman untuk mencari kuman penyebab dan uji resistensi terhadap berbagai antibiotika (pada diare persisten).
b). Pemeriksaan darah : Darah perifer lengkap, analisis gas darah dan elektrolit (terutama Na, K, Ca, dan P serum pada diare yang disertai kejang).
c). Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinim darah untuk mengetahui faal ginjal.
d). Duodenal intubation, untuk mengetahui kuman peenyebab secara kuantitatif dan kualitatif terutama pada diare kronik.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon aktual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai izin dan berkompeten untuk mengatasinya. Respon aktual dan potensial klien didapatkan dari data dasar pengkajian, tinjauan literatur yang berkaitan, catatan medis klien masa lalu dan konsultasi dengan profesional lain, yang kesemuanya dikumpulkan selama pengkajian. Hal terakhir adalah respon aktual atau potensial klien yang membutuhkan intervensi domain praktik keperawatan. (Perry & Potter. 2005).
Beberapa Diagnosa Medis pada penyakit Gastroenteritis menurut Donna (2000) adalah:
a. Defisit volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang dan output yang berlebihan ditandai dengan BAB lebih dari 4 kali sehari, muntah, turgor kulit kering, nadi cepat, pernapasan meningkat.
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak adanya kekuatan absorpsi nutrisi ditandai dengan buang air besar menurun, buang air besar encer
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan buang air besar yang sering ditandai dengan kulit kemerahan pada area rectal.
d. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen ditandai dengan klien gelisah, bising usus hiperaktif.
e. Defisit pengetahuan tentang tanda-tanda komplikasi batasan diet berhubungan dengan informasi kurang.
2.2.3 Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan adalah perumusan tujuan, tindakan, dan penilaian rangkaian asuhan keperawatan pada pasien/klien berdasarkan analisis pengkajian agar masalah kesehatan dan keperawatan pasien dapat teratasi (Ali, 1997).


a. S : Spesifik (tujuan harus spesifik dan tidak menimbulkan arti ganda)
b. M : Measurable (tujuan keperawatan harus dapat diukur, khususnya tentang prilaku klien dapat dilihat, didengar, diraba, dirasakan, dan dibau)
c. A : Achievable (tujuan harus dapat dicapai)
d. R : Reasonable (tujuan harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah)
e. T : Time (tujuan keperawatan)
(Nursalam, 2001).
Tabel 2.6 Rencana Tindakan Keperawatan.
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan
Kriteria Hasil Intervensi Rasional
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Defisit volume cairan berhubungan dengan intake yang kurang dan output yang berlebihan ditandai dengan BAB lebih dari 4x sehari, muntah Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan:
mengalami perbaikan mukosa, mulut lembab, hasil lab dan output urine dalam batas normal sesuai umur dan berat badan klien kembali normal (sebelum sakit) 1.Monitor tanda vital setiap jam atau sesuai keperluan, laporkan ketidak harmonisan.

2.Monitor tanda-tanda peningkatan dehidrasi seperti hilangnya tugor kulit, mata cekung, nadi cepat, fontaneal lembek, BB menurun, membran mukosa kering, pengeluaran urine berkurang
3.Monitor intake dan Output secara Adkuat




4.Monitor keteraturan tetesan infus dann awasi posisinya setiap saat
5. Cek jumlah urine setiap 4 jam 1.1.Hipertensi takikardi, demam dapat menunjukan respon terhadap efek kehilangan cairan.

2.Indikator kehilangan cairan berlebihan atau dehidrasi

d




3.Memberikan Informasi tentang keseimbangan cairan, fungsi ginjal dan kontrol penyakit usus juga merupkan pedoman untuk mengganti cairan
4.Mempertahankan potensi dehidrasi interpena

5. Indikator keseimbangan cairan.

(1) (2) (3) (4) (5)
2






























Perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak adanya kekuatan absorpsi ditandai dengan Berat badan menurun, penurunan masa otot, muntah, BAB encer. Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada klien mampu mempertahankan berat badan, muntah berkurang, BAB tidak encer dengan criteria hasil : klien mendapat makanan dan cairan yang adkuat, pola eliminasi BAB klien normal. 1. Pemenuhan nutrisi peroral, memberikan oral higien.






2. Monitor total parental.





3. Mulai pemberian cairan per oral secara perlahan-lahan jika di ijinkan dengan menggunakan elektrolit yang diencerkan atau cairan sreril.

4. Perkenalan diet makanan padat (seperti pisang, nasi, manisan, apel, roti).

5. Ganti diet atau makanan sesuai dengan agen penyebab.

6. Laporkan reaksi diet baru, kambuhnya muntah atau diare

1. Makanan selama diare dapat merangsang penyerapan cairan selain memberikan zat makanan yang diperlukan mulut yang bersih dan meningkatkan rasa makan.

2. Mengistirahatkan saluran gastrointestinal namun tetap memberikan nutrisi yang penting bagi tubuh

3.Memungkinkan saluran khusus untuk memulai kembali proses pencernaan




4.Membantu pasien dalam mengidentifikasi-kan diet makan yang sesuai


5.Mencegah serangan akut atau ekserbasi gejala


6.Berguna dalam mengidentifikasi definisi yang spesifik dan mendapat respon gastrointestinal



(1) (2) (3) (4) (5)
3 Gangguan rasa nyaman nyeri yang berbungan dengan distensi abdomen, ditandai klien gelisah, bising usus hiperaktif Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien merasa nyaman dan distensi hilang dengan kriteria hasil: perut klien tidak tegang, distensi, klien tidak menunjukkan rasa nyeri baik secara verbal maupun non verbal, klien dapat tidur dengan nyenyak dan nyaman. 1. Atur posisi yang nyaman bagi klien, misalnya dengan lutut fleksi.
2. Lakukan aktivitas pengalihan untuk memberikan rasa nyaman seperti massase punggung dan kompres hangat abdomen.
3. Bersihkan area anorektal dengan sabun ringan dan air setelah defekasi dan berikan perawatan kulit.
4. Kolaborasi pemberian obat analgetika dan atau antikolinergik sesuai indikasi.


5. Kaji keluhan nyeri dengan Visual Analog Scale (skala 1-10), perubahan karakteristik nyeri, petunjuk verbal dan non verbal 1. Menurunkan tegangan permukaan abdomen dan mengurangi nyeri.

2. Meningkatkan relaksasi, mengalihkan fokus perhatian klien dan meningkatkan kemampuan koping.

3. Melindungi kulit dari keasaman feces.




4. Analgetik sebagai agen anti nyeri dan antikolinergik untuk menurunkan spasme traktus dapat diberikan sesuai indikasi klinis
5. Mengevaluasi perkembangan nyeri untuk menetapkan intervensi selanjutnya
4 Gangguan integritas kulit berhubungan dengan Buang air besar yang sering ditandai dengan kulit kemerahan Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien tidak mengalami kemerahan pada anus, tidak ada gangguan integritas kulit parianal dengan kriteria hasil: nyeri berkurang, tidak terdapat iritasi pada daerah anus dan terdapat lecet pada perirektal 1. Bersihkan daerah bokong dengan air hangat dan sabun lembut sehabis BAB.

2. Gunakan bedak obat untuk area tersebut, jangan menggunakan krim hidrokortison jika menggunakan celana dalam bahan nilon.

3. Biarkan daerah bokong terbuka selama  5 – 10 menit.


4. Gunakan lampu pemanas (60 watt) dengan jalan 15-18 dari area bokong selama 5-10 menit setiap 2-4 jam, olesi salep sebelum pemanasan
1.Melindungi kulit dari asam usus, mencegah ekskoriasi


2.Celana dari bahan nilon/plastik dapat meningkatkan absorpsi dari hidrokortison yang menimbulkan efek samping.

3.Kelembaban yang berlebihan dapat merusak kulit dan mempercepat luka.

4.Pemanasan dapat mengeringkan area bokong dan anus, pemberian salep akan mencegah rasa panas dan terbakar.



(1) (2) (3) (4) (5)
5 Defisit pengetahuan tentang tanda komplikasi batasan diet berhubungan dengan informasi kurang ditandai dengan klien sering bertanya. Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien secara verbal mengerti tentang batasan diet, potensial komplikasi dan metode pengobatan diare dengan criteria hasil: dapat mengetahui cara mencegah kekambuhan penyakit. Dengan cara dapat menunjukkan teknik cuci tangan dan sanitasi dengan benar dan klien juga dapat mengenal tanda-tanda bahaya diare dan dapat mengambil tindakan yang tepat yaitu dengan cara berobat ke tempat pelayanan kesehatan.
1.Instruksi keluarga klien dalam metode penyimpangan dan pemberian formula/makanan

2.Adakan konsultasi dengan ahli gizi jika memungkinkan


3.Ajarkan keluarga tentang manajemen diet pada muntah dan diare


4.Gunakan fakta dan contoh untuk mengajarkan cara mencuci tangan yang baik dan kebiasaan sanitasi.

5. Ajarkan tentang tanda-tanda diare/muntah (seperti: napsu makan berkurang, demam, perubahan pola nafas, urine bekurang). 1.Meningkatkan pemahaman dan partisipasi terhadap pengobatan


2.Untuk mendapat diet yang sesuai



3.Diharapkan keluarga klien dapat memberikan makanan yang dapat mencegah serangan akut

4. Mengurangi penyebaran bakteri dan resiko iritasi kulit atau infeksi




5.Memberikan pengetahuan dasar tentang penyakit diare dan perlunya untuk segera mencari tempat pelayanan kesehatan.





(Donna, 2000)
2.2.4 Tindakan Keperawatan
Yang dimaksud dengan tindakan keperawatan adalah suatu tahap dimana rencana keperawatan yang telah disusun diberikan kepada bayi sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi bayi (Dongoes, 2001).
Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping. Ada tiga tahap dalam tindakan keperawatan yaitu: persiapan, perencanaan, dan dokumentasi (Nursalam, 2001).
Dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien, pada tahap implementasi, seorang perawat harus benar-benar memahami dan memiliki pengetahuan serta skill keperawatan mengenai tindakan yang dilakukan terhadap kasus yang sedang ditangani. Sehingga semua intervensi yang telah dirumuskan bisa dilakukan dengan baik dan bisa menyelesaikan masalah kesehatan yang dihadapi klien.
Setelah implementasi dilakukan oleh perawat, perawat harus mengawasi dan mendokumentasikan tindakan yang telah dilakukan sehingga nanti bisa dipertanggung jawabkan.
2.2.5 Evaluasi
Tahap evaluasi merupakan tahapan akhir pada proses keperawatan. Evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan kriteria yang dibuat pada tahap intervensi (Dongoes, Marillyn, 2001).
Tahapan evaluasi keperawatan terdiri dari beberapa komponen, yaitu kriteria hasil, keefektifan tahap-tahap proses keperawatan dan perbaikan rencana asuhan keperawatan. Kerangka pembuatan kriteria hasil dibuat dalam bentuk SOAP (Subyektif, Obyektif, Assessment, Planning).
Adapun penjelasan lebih lanjut sebagai berikut :
a. S (subyektif), yaitu keluhan-keluhan klien (apa saja yang dikatakan klien, keluarga klien dan orang terdekat klien).
b. O (obyektif), yaitu segala sesuatu yang dapat dilihat, dicium, diraba, dan diukur oleh perawat.
c. A (analisis), yaitu suatu kesimpulan yang dirumuskan oleh perawat tentang kondisi klien.
d. P (planning), yaitu rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah klien selanjutnya.
2.3 Dokumentasi Keperawatan
Dokumentasi keperawatan adalah bagian integral proses, bukan sesuatu yang berbeda dari metode problem solving. Dokumentasi mencakup pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, tindakan, evaluasi (Nursalam, 2001).
a. Dokumentasi Pengkajian Keperawatan
Dokumentasi pengkajian ditujukan pada data klinik dimana perawat dapat mengumpulkan dan mengorganisir dalam catatan kesehatan. Format pengkajian meliputi data dasar, flow sheets dan catatan perkembangan lainnya yang memungkinkan dapat sebagai alat komunikasi bagi tenaga keperawatan atau kesehatan lainnya. Petunjuk penulisan pengkajian :
1) Gunakan format yang sistimatis untuk mencatat pengkajian, yang meliputi:
a) Riwayat klien masuk rumah sakit
b) Respon klien yang berhubungan dengan persepsi kesehatan klien
c) Riwayat pengobatan
d) Data klien rujukan, pulang dan keuangan
2) Gunakan format yang telah tersusun untuk pencatatan pengkajian.
3) Kelompokkan data-data berdasarkan model pendekatan yang digunakan.
4) Tulis data obyektif tanpa bias (tanpa mengartikan).
5) Sertakan pernyataan yang mendukung interpretasi data obyektif.
6) Jelaskan observasi dan temuan secara sistematik, termasuk definisi karakteristiknya.
7) Ikuti aturan atau prosedur yang dipakai dan disepakati di instansinya.
8) Tuliskan secara jelas dan ringkas.
b. Dokumentasi Diagnosa Keperawatan
Sebagai bukti ukuran pencatatan perawat, pernyataan diagnosa keperawatan bahwa mengidentifikasi masalah aktual atau potensial penyebab maupun tanda dan gejala-gejala sebagai indikasi perlu untuk pelayanan perawatan, contoh:
1) Proses dan pencatatan diagnosa keperawatan dalam rencana dan di dalam catatan perkembangan.
2) Pemakaian dari forma PE (Problem Etiologi) untuk tiap masalah potensial.
3) Pengkajian data pada dokumen, semua faktor mayor untuk tiap diagnosa.
4) Dokumen dari pengkajian atau mengikuti diagnosa keperawatan yang tepat.
5) Ulangi data salah satu informasi pengkajian perawatan, sebagai perawat profesional dari kerjasama dengan staf pembuat diagnosa.
c. Dokumentasi Perencanaan Keperawatan
Fokus dari perencanaan adalah untuk menyusun rencana tindakan dengan pendekatan penyelesaian masalah. Melalui proses ini, perawat memprioritaskan dan membuat daftar masalah klien yang memerlukan intervensi keperawatan, menyusun hasil-hasil yang diharapkan, dan mengelola kondisi klien yang perlu segera intervensi keperawatan. Komponen penting dalam rencana tindakan keperawatan adalah diagnosa keperawatan, hasil yang diharapkan, dan rencana tindakan yang mengidentifikasi intervensi keperawatan.
d. Dokumentasi Tindakan Keperawatan
Komponen penting pada dokumentasi intervensi adalah mengidentifikasi mengapa sesuatu terjadi terhadap klien apa yang terjadi, kapan, bagaimana, dan siapa yang melakukan intervensi.
1) Why: harus dijelaskan alasan tindakan dilaksanakan dan data yang ada dari hasil dokumentasi pengkajian data diagnosa keperawatan.
2) What: ditulis secara jelas, ringkas dari pengobatan/tindakan dalam bentuk action verb.
3) When: pencatatan waktu pelaksanaan intervensi sangat penting dalam hal pertanggung jawaban hukum dan efektifitas tindakan tertentu.
4) How: tindakan dilaksanakan dalam penambahan pencatatan yang lebih detail. Menandakan suatu prinsip ilmiah dan rasional dari rencana tindakan.
5) Who: siapa yang melaksanakan intervensi yang harus selalu dituliskan pada dokumentasi serta tanda tangan sebagai pertanggung jawaban
e. Dokumentasi Evaluasi Keperawatan
Pernyataan evaluasi perlu didokumentasikan dalam catatan kemajuan, direvisi dalam perencanaan perawatan atau dimasukkan pada ringkasan khusus dan dalam pelaksanaan bentuk perencanaan.

TEORI KEPERAWATAN CALISTA ROY

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Model konseptual mengacu pada ide-ide global mengenai individu, kelompok situasi atau kejadian tertentu yang berkaitan dengan disiplin yang spesifik. Teori0teori yang terbentuk dari penggabungan ko9nsep dan pernyataan yang berfokus lebih khusus pasa suatu kejadian dan fenomena dari suatu disiplin ilmu. Model konseptual keperawatan dikembangkan atas pengetahuan para ahli keperawatan tentang keperawatan yang bertolak dari paradigma keperawatan. Model konseptual dalam keperawatan dapat memungkinkan perawat untuk menerapkan cara perawat bekerja dalam batas kewenangan sebagai seorang perawat. Perawat perlu memahami konsep ini sebagai kerangka konsep dalam memberikan asuhan keperawatan dalam praktek keperawatan atau sebagai filosofi dalam dunia pendidikan dan kerangka kerja dalam riset keperawatan.
Ada berbagai jenis model konseptual keperawatan berdasarkan pandangan ahli dalam bidang keperawatan, salah satunya adalh model adaptasi Roy. Roy dalam teorinya menjelaskan empat macam elemen esensial dalam adaptasi keperawatan , yaitu : manusia, lingkungan, kesehatan, dan keperawatan. Model adaptasi Roy menguraikan bahwa bagaimana individu mampu meningkatkan kesehatannya dengan cara memepertahankan perilaku secara adaptif karena menurut Roy, manusia adalah makhluk holistic yang memiliki sistem adaptif yang selalu beradaptsi.









BAB II
TEORY KEPERAWATAN CALISTA ROY

A. Riwayat Calista Roy
Suster Calista Roy adalah seorang suster dari Saint Joseph of Carondelet. Roy dilahirkan pada tanggal 14 oktober 1939 di Los Angeles California. Roy menerima Bachelor of Art Nursing pada tahun 1963 dari Mount Saint Marys College dan Magister Saint in Pediatric Nursing pada tahun 1966 di University of California Los Angeles.
Roy memulai pekerjaa dengan teori adaptasi keperawatan pada tahun 1964 ketika dia lulus dari University of California Los Angeles. Dalam Sebuah seminar dengan Dorrothy E. Johnson, Roy tertantang untuk mengembangkan sebuah model konsep keperawatan. Konsep adaptasi mempengaruhi Roy dalam kerangka konsepnya yang sesuai dengan keperawatan. Dimulai dengan pendekatan teori sistem. Roy menambahkan kerja adaptasi dari Helsen (1964) seorang ahli fisiologis – psikologis. Untuk memulai membangun pengertian konsepnya. Helsen mengartikan respon adaptif sebagai fungsi dari datangnya stimulus sampai tercapainya derajat adaptasi yang di butuhkan individu. Derajat adaptasi dibentuk oleh dorongan tiga jenis stimulus yaitu : focal stimuli, konsektual stimuli dan residual stimuli.
Roy mengkombinasikan teori adaptasi Helson dengan definisi dan pandangan terhadap manusia sebagai sistem yang adaptif. Selain konsep-konsep tersebut, Roy juga mengadaptasi nilai “ Humanisme” dalam model konseptualnya berasal dari konsep A.H. Maslow untuk menggali keyakinan dan nilai dari manusia. Menurut Roy humanisme dalam keperawatan adalah keyakinan, terhadap kemampuan koping manusia dapat meningkatkan derajat kesehatan.
Sebagai model yang berkembang, Roy menggambarkan kerja dari ahli-ahli lain dari ahli-ahli lain di area adaptasi seperti Dohrenwend (1961), Lazarus (1966), Mechanic ( 1970) dan Selye (1978). Setelah beberapa tahun, model ini berkembang menjadi sebagai suatu kerangka kerja pendidikan keperawatan, praktek keperawatan dan penelitian. Tahun 1970, model adaptasi keperawatan diimplementasikan sebagai dasar kurikulum sarjana muda keperawatan di Mount Saint Mary’s College. Sejak saat it lebih dari 1500 staf pengajar dan mahasiswa-mahasiswa terbantu untuk mengklarifikasi, menyaring, dan memperluas model. Penggunaan model praktek juga memegang peranan penting untuk klarifikasi lebih lanjut dan penyaringan model.
Sebuah studi penelitian pada tahun 1971 dan survey penelitian pada tahun 1976-1977 menunjukkan beberapa penegasan sementara dari model adaptasi. Perkembangan model adaptasi keperawatan dipengaruhi oleh latar belakang Roy dan profesionalismenya. Secara filosofi Roy mempercayai kemampuan bawaan, tujuan,, dan nilai kemanusiaan, pengalaman klinisnya telah membantu perkembangan kepercayaannya itu dalam keselarasan dari tubuh manausia dan spirit. Keyakinan filosofi Roy lebih jelas dalam kerjanya yang baru pada model adaptasi keperawatan.

B. Teori Calista Roy
Model konsep adaptasi pertama kali dikemukakan oleh Suster Callista Roy (1969). Konsep ini dikembangkan dari konsep individu dan proses adaptasi seperti diuraikan di bawah ini.
Asumsi dasar model adaptasi Roy adalah :
1. Manusia adalah keseluruhan dari biopsikologi dan sosial yang terus-menerus berinteraksi dengan lingkungan.
2. Manusia menggunakan mekanisme pertahanan untuk mengatasi perubahan-perubahan biopsikososial.
3. Setiap orang memahami bagaimana individu mempunyai batas kemampuan untuk beradaptasi. Pada dasarnya manusia memberikan respon terhadap semua rangsangan baik positif maupun negatif.
4. Kemampuan adaptasi manusia berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, jika seseorang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan maka ia mempunyai kemampuan untuk menghadapi rangsangan baik positif maupun negatif.
5. Sehat dan sakit merupakan adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari dari kehidupan manusia.
Dalam asuhan keperawatan, menurut Roy (1984) sebagai penerima asuhan keperawatan adalah individu, keluarga, kelompok, masyarakat yang dipandang sebagai “Holistic adaptif system”dalam segala aspek yang merupakan satu kesatuan.
System adalah Suatu kesatuan yang di hubungkan karena fungsinya sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya. System terdiri dari proses input, autput, kontrol dan umpan balik ( Roy, 1991 ), dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Input
Roy mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus, merupakan kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual.
a. Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang, efeknya segera, misalnya infeksi .
b. Stimulus kontekstual yaitu semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur dan secara subyektif dilaporkan. Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan respon negatif pada stimulus fokal seperti anemia, isolasi sosial.
c. Stimulus residual yaitu ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan dengan situasi yang ada tetapi sukar untuk diobservasi meliputi kepercayan, sikap, sifat individu berkembang sesuai pengalaman yang lalu, hal ini memberi proses belajar untuk toleransi. Misalnya pengalaman nyeri pada pinggang ada yang toleransi tetapi ada yang tidak.

2. Kontrol
Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping yang di gunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan kognator yang merupakan subsistem.
a. Subsistem regulator
Subsistem regulator mempunyai komponen-komponen : input-proses dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter regulator sistem adalah kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom adalah respon neural dan brain sistem dan spinal cord yang diteruskan sebagai perilaku output dari regulator sistem. Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator subsistem.
b. Subsistem kognator
Stimulus untuk subsistem kognator dapat eksternal maupun internal. Perilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus umpan balik untuk kognator subsistem. Kognator kontrol proses berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi, penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan dengan proses internal dalam memilih atensi, mencatat dan mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses imitasi, reinforcement (penguatan) dan insight (pengertian yang mendalam). Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang berhubungan dengan penilaian atau analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk mencari keringanan, mempergunakan penilaian dan kasih sayang.
3. Output
Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapt di amati, diukur atau secara subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun dari luar . Perilaku ini merupakan umpan balik untuk sistem. Roy mengkategorikan output sistem sebagai respon yang adaptif atau respon yang tidak mal-adaptif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi dan keunggulan. Sedangkan respon yang mal adaptif perilaku yang tidak mendukung tujuan ini.
Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan proses kontrol seseorang sebagai adaptif sistem. Beberapa mekanisme koping diwariskan atau diturunkan secara genetik (misal sel darah putih) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang menyerang tubuh. Mekanisme yang lain yang dapat dipelajari seperti penggunaan antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu Keperawatan yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut Regulator dan Kognator dan mekanisme tersebut merupakan bagian sub sistem adaptasi.
Dalam memahami konsep model ini, Callista Roy mengemukakan konsep keperawatan dengan model adaptasi yang memiliki beberapa pandangan atau keyakinan serta nilai yang dimilikinya diantaranya:
a. Manusia sebagai makhluk biologi, psikologi dan social yang selalu berinteraksi dengan lingkungannya.
b. Untuk mencapai suatu homeostatis atau terintegrasi, seseorang harus beradaptasi sesuai dengan perubahan yang terjadi.
c. Terdapat tiga tingkatan adaptasi pada manusia yang dikemukakan oleh roy, diantaranya:
1. Focal stimulasi yaitu stimulus yang langsung beradaptasi dengan seseorang dan akan mempunyai pengaruh kuat terhadap seseorang individu.
2. Kontekstual stimulus, merupakan stimulus lain yang dialami seseorang, dan baik stimulus internal maupun eksternal, yang dapat mempengaruhi, kemudian dapat dilakukan observasi, diukur secara subjektif.
3. Residual stimulus, merupakan stimulus lain yang merupakan ciri tambahan yang ada atau sesuai dengan situasi dalam proses penyesuaian dengan lingkungan yang sukar dilakukan observasi.
d. System adaptasi memiliki empat mode adaptasi diantaranya:
1. Fungsi fisiologis, komponen system adaptasi ini yang adaptasi fisiologis diantaranya oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, integritas kulit, indera, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis dan fungsi endokrin.
2. Konsep diri yang mempunyai pengertian bagaimana seseorang mengenal pola-pola interaksi social dalam berhubungan dengan orang lain.
3. Fungsi peran merupakan proses penyesuaian yang berhubungan dengan bagaimana peran seseorang dalam mengenal pola-pola interaksi social dalam berhubungan dengan orang lain.
4. Interdependent merupakan kemampuan seseorang mengenal pola-pola tentang kasih sayang, cinta yang dilakukan melalui hubungan secara interpersonal pada tingkat individu maupun kelompok.
e. Dalam proses penyesuaian diri individu harus meningkatkan energi agar mampu melaksanakan tujuan untuk kelangsungan kehidupan, perkembangan, reproduksi dan keunggulan sehingga proses ini memiliki tujuan meningkatkan respon adaptasi.
Teori adaptasi suster Callista Roy memeandang klien sebagai suatu system adaptasi. Sesuai dengan model Roy, tujuan dari keperawatan adalah membantu seseorang untuk beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan hubungan interdependensi selama sehat dan sakit (Marriner-Tomery,1994). Kebutuhan asuhan keperawatan muncul ketika klien tidak dapat beradaptasi terhadap kebutuhan lingkungan internal dan eksternal. Seluruh individu harus beradaptasi terhadap kebutuhan berikut :
1. Pemenuhan kebutuhan fisiologis dasar
2. Pengembangan konsep diri positif
3. Penampilan peran social
4. Pencapaian keseimbangan antara kemandirian dan ketergantungan
Perawat menetukan kebutuhan di atas menyebabkan timbulnya masalah bagi klien dan mengkaji bagaimana klien beradaptasi terhadap hal tersebut. Kemudian asuhan keperawatan diberikan dengan tujuan untuk membantu klien beradaptasi.
Menurut Roy terdapat empat objek utama dalam ilmu keperawatan, yaitu :
1. Manusia (individu yang mendapatkan asuhan keperawatan)
Roy menyatakan bahwa penerima jasa asuhan keperawatan individu, keluarga, kelompok, komunitas atau social. Masing-masing dilakukan oleh perawat sebagai system adaptasi yang holistic dan terbuka. System terbuka tersebut berdampak terhadap perubahan yang konstan terhadap informasi, kejadian, energi antara system dan lingkungan. Interaksi yang konstan antara individu dan lingkungan dicirikan oleh perubahan internal dan eksternal. Dengan perubahan tersebut individu harus mempertahankan intergritas dirinya, dimana setiap individu secara kontunyu beradaptasi.
Roy mengemukakan bahwa manusia sebagai sebuah sistem adaptif. Sebagai sistem adaptif, manusia dapat digambarkan secara holistik sebagai satu kesatuan yang mempunyai input, kontrol, out put dan proses umpan balik. Proses kontrol adalah mekanisme koping yang dimanifestasikan dengan cara- cara adaptasi. Lebih spesifik manusia didefenisikan sebagai sebuah sistem adaptif dengan aktivitas kognator dan regulator untuk mempertahankan adaptasi dalam empat cara-cara adaptasi yaitu : fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Dalam model adaptasi keperawatan, manusia dijelaskan sebagai suatu sistem yang hidup, terbuka dan adaptif yang dapat mengalami kekuatan dan zat dengan perubahan lingkungan. Sebagai sistem adaptif manusia dapat digambarkan dalam istilah karakteristik sistem, jadi manusia dilihat sebagai satu-kesatuan yang saling berhubungan antara unit fungsional secara keseluruhan atau beberapa unit fungsional untuk beberapa tujuan. Input pada manusia sebagai suatu sistem adaptasi adalah dengan menerima masukan dari lingkungan luar dan lingkungan dalam diri individu itu sendiri. Input atau stimulus termasuk variabel standar yang berlawanan yang umpan baliknya dapat dibandingkan. Variabel standar ini adalah stimulus internal yang mempunyai tingkat adaptasi dan mewakili dari rentang stimulus manusia yang dapat ditoleransi dengan usaha-usaha yang biasa dilakukan. Proses kontrol manusia sebagai suatu sistem adaptasi adalah mekanisme koping. Dua mekanisme koping yang telah diidentifikasi yaitu : subsistem regulator dan subsistem kognator. Regulator dan kognator digambarkan sebagai aksi dalam hubungannya terhadap empat efektor atau cara-cara adaptasi yaitu : fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependen.






Empat fungsi mode yang dikembangkan oleh Roy terdiri dari:
a. Fisiologis
• Oksigenasi: menggambarkan pola penggunaan oksigen berhubungan dengan respirasi dan sirkulasi.
• Nutrisi: menggambarkan pola penggunaan nutrient untuk memperbaiki kondisi tubuh dan perkembangan.
• Eliminasi: menggambarkan pola eliminasi.
• Aktivitas dan istirahat: menggambarkan pola aktivitas, latihan, istirahat dan tidur.
• Integritas kulit: menggambarkan pola fungsi fisiologis kulit.
• Rasa/senses: menggambarkan fungsi sensori perceptual berhubungan dengan panca indera
• Cairan dan elektrolit: menggambarkan pola fisiologis penggunaan cairan dan elektrolit
• Fungsi neurologist: menggambarkan pola control neurologist, pengaturan dan intelektual
• Fungsi endokrin: menggambarkan pola control dan pengaturan termasuk respon stress dan system reproduksi
b. Konsep Diri (Psikis)
Model konsep ini mengidentifikasi pola nilai, kepercayaan dan emosi yang berhubungan dengan ide diri sendiri. Perhatian ditujukan pada kenyataan keadaan diri sendiri tentang fisik, individual, dan moral-etik.
c. Fungsi Peran (Sosial)
Fungsi peran mengidentifikasi tentang pola interaksi social seseorang berhubungan dengan orang lain akibat dari peran ganda.
d. Interdependent
Interdependen mengidentifikasi pola nilai-nilai manusia, kehangatan, cinta dan memiliki. Proses tersebut terjadi melalui hubungan interpersonal terhadap individu maupun kelompok.



2. Keperawatan
Keperawatan adalah bentuk pelayanan professional berupa pemenuhan kebutuhan dasar dan diberikan kepada individu baik sehat maupun sakit yang mengalami gangguan fisik, psikis dan social agar dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Roy mendefinisikan bahwa tujuan keperawatan adalah meningkatkan respon adaptasi berhubungan dengan empat mode respon adaptasi. Perubahan internal dan eksternal dan stimulus input tergantung dari kondisi koping individu. Kondisi koping seseorang atau keadaan koping seseorang merupakan tingkat adaptasi seseorang. Tingkat adaptasi seseorang akan ditentukan oleh stimulus fokal, kontekstual, dan residual. Fokal adalah suatu respon yang diberikan secara langsung terhadap ancaman/input yang masuk. Penggunaan fokal pada umumnya tergantung tingkat perubahan yang berdampak terhadap seseorang. Stimulus kontekstual adalah semua stimulus lain seseorang baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur, dan secara subjektif disampaikan oleh individu. Stimulus residual adalah karakteristik/riwayat dari seseorang yang ada dan timbul releva dengan situasi yang dihadapi tetapi sulit diukur secara objektif.
3. Konsep sehat
Roy mendefinisikan sehat sebagai suatu continuum dari meninggal sampai tingkatan tertinggi sehat. Dia menekankan bahwa sehat merupakan suatu keadaan dan proses dalam upaya dan menjadikan dirinya secara terintegrasisecara keseluruhan, fisik, mental dan social. Integritas adaptasi individu dimanifestasikan oleh kemampuan individu untuk memenuhi tujuan mempertahankan pertumbuhan dan reproduksi.
Sakit adalah suatu kondisi ketidakmampuan individu untuk beradapatasi terhadap rangsangan yang berasal dari dalam dan luar individu. Kondisi sehat dan sakit sangat individual dipersepsikan oleh individu. Kemampuan seseorang dalam beradaptasi (koping) tergantung dari latar belakang individu tersebut dalam mengartikan dan mempersepsikan sehat-sakit, misalnya tingkat pendidikan, pekerjaan, usia, budaya dan lain-lain.

4. Konsep lingkungan
Roy mendefinisikan lingkungan sebagai semua kondisi yang berasal dari internal dan eksternal,yang mempengaruhi dan berakibat terhadap perkembangan dari perilaku seseorang dan kelompok. Lingkunan eksternal dapat berupa fisik, kimiawi, ataupun psikologis yang diterima individu dan dipersepsikan sebagai suatu ancaman. Sedangkan lingkungan internal adalah keadaan proses mental dalam tubuh individu (berupa pengalaman, kemampuan emosioanal, kepribadian) dan proses stressor biologis (sel maupun molekul) yang berasal dari dalam tubuh individu.manifestasi yang tampak akan tercermin dari perilaku individu sebagai suatu respons. Dengan pemahaman yang baik tentang lingkungan akan membantu perawat dalam meningkatkan adaptasi dalam merubah dan mengurangi resiko akibat dari lingkungan sekitar.
Model adaptasi Roy memberikan petunjuk untuk perawat dalam mengembangkan proses keperawatan. Elemen dalam proses keperawatan menurut Roy meliputi pengkajian tahap pertama dan kedua, diagnosa, tujuan, intervensi, dan evaluasi, langkah-langkah tersebut sama dengan proses keperawatan secara umum.
a. Pengkajian
Roy merekomendasikan pengkajian dibagi menjadi dua bagian, yaitu pengkajian tahap I dan pengkajian tahap II.
Pengkajian pertama meliputi pengumpulan data tentang perilaku klien sebagai suatu system adaptif berhubungan dengan masing-masing mode adaptasi: fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan ketergantungan. Oleh karena itu pengkajian pertama diartikan sebagai pengkajian perilaku,yaitu pengkajian klien terhadap masing-masing mode adaptasi secara sistematik dan holistic.
Setelah pengkajian pertama, perawat menganalisa pola perubahan perilaku klien tentang ketidakefektifan respon atau respon adaptif yang memerlukan dukungan perawat. Jika ditemukan ketidakefektifan respon (mal-adaptif), perawat melaksanakan pengkajian tahap kedua. Pada tahap ini, perawat mengumpulkan data tentang stimulus fokal, kontekstual dan residual yang berdampak terhadap klien. Menurut Martinez, factor yang mempengaruhi respon adaptif meliputi: genetic; jenis kelamin, tahap perkembangan, obat-obatan, alcohol, merokok, konsep diri, fungsi peran, ketergantungan, pola interaksi social; mekanisme koping dan gaya, strea fisik dan emosi; budaya;dan lingkungan fisik
b. Perumusan diagnosa keperawatan
Roy mendefinisikan 3 metode untuk menyusun diagnosa keperawatan :
1. Menggunakan tipologi diagnosa yang dikembangkan oleh Roy dan berhubungan dengan 4 mode adaptif . dalam mengaplikasikan diagnosa ini, diagnosa pada kasus Tn. Smith adalah “hypoxia”.
2. Menggunakan diagnosa dengan pernyataan/mengobservasi dari perilaku yang tampak dan berpengaruh tehadap stimulusnya. Dengan menggunakan metode diagnosa ini maka diagnosanya adalah “nyeri dada disebabkan oleh kekurangan oksigen pada otot jantung berhubungan dengan cuaca lingkungan yang panas”.
3. Menyimpulkan perilaku dari satu atau lebih adaptif mode berhubungan dengan stimulus yang sama, yaitu berhubungan Misalnya jika seorang petani mengalami nyeri dada, dimana ia bekerja di luar pada cuaca yang panas. Pada kasus ini, diagnosa yang sesuai adalah “kegagalan peran berhubungan dengan keterbatasan fisik (myocardial) untuk bekerja di cuaca yang panas”
c. Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan adalah suatu perencanaan dengan tujuan merubah ataumemanipulasi stimulus fokal, kontekstual, dan residual. Pelaksanaannya juga ditujukan kepada kemampuan klien dalam koping secara luas, supaya stimulus secara keseluruhan dapat terjadi pada klien, sehinga total stimuli berkurang dan kemampuan adaptasi meningkat.
Tujuan intervensi keperawatan adalah pencapaian kondisi yang optimal, dengan menggunakan koping yang konstruktif. Tujuan jangka panjang harus dapat menggambarkan penyelesaian masalah adaptif dan ketersediaan energi untuk memenuhi kebutuhan tersebut (mempertahankan, pertumbuhan, reproduksi). Tujuan jangka pendek mengidentifikasi harapan perilaku klien setelah manipulasi stimulus fokal, kontekstual dan residual.


d. Implementasi
Implementasi keperawatan direncanakan dengan tujuan merubah atau memanipulasi fokal, kontextual dan residual stimuli dan juga memperluas kemampuan koping seseorang pada zona adaptasi sehinga total stimuli berkurang dan kemampuan adaptasi meningkat.
e. Evaluasi
Penilaian terakhir dari proses keperawatan berdasarkan tujuan keperawatan yang ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan keperawatan didasarkan pada perubahan perilaku dari kriteria hasil yang ditetapkan, yaitu terjadinya adaptasi pada individu.






DAFTAR PUSTAKA

Dwidiyanti M. Aplikasi model konseptual Keperawatan, Semarang: Akper Dep.Kes. 1987.
Roy S.C-Andrews H.A. The Roy Adaptation Model: The Definitive Statement, California: Appleton & Large. 1991.

PROPOSAL TYPOID

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Demam Typhoid dan Paratyphoid merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini jarang di temukan secara epidemik, lebih bersifat sporadis, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang terjadi lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Di Indonesia, demam typhoid dapat ditemukan sepanjang tahun dan insidens tertinggi pada daerah endemik terjadi pada anak-anak. Terdapat dua sumber penularan S. typhi yaitu pasien dengan demam typhoid yang lebih sering karier. Di daerah endemik, transmisi terjadi melalui air yang tercemar S.typhi, sedangkan makanan yang tercemar oleh karier merupakan sumber penularan tersering di daerah nonendemik. (Mansjoer Arif, dkk, 2000; 422).
Surverlans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian Demam Thypoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peninggkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19,596 menjadi 26,606 kasus. (Aru W.Sudoyo, dkk, 2007; 1752).
Data yang didapatkan dari Rekam Medik Rumah Sakit Umum Dr. R. Soedjono Selong, Lombok Timur, Prevalensi penderita Thypus Abdominalis dalam 3 tahun terakhir, dengan perincian berdasarkan jenis kelamin dan usia didapatkan kasus terbanyak adalah sebagai berikut : Pada tahun 2008 jumlah penderita sebanyak 307 dengan perincian 149 jiwa adalah laki - laki, 158 perempuan, golongan umur 15 – 24 sebanyak 107 penderita, golongan umur 25 – 44 sebanyak 94 penderita, golongan umur 45 – 64 sebanyak 77 penderita dan golongan umur 65 ke atas sebanyak 18 penderita, sebanyak 11 penderita meninggal. Pada tahun 2009 jumlah penderita sebanyak 241 penderita dengan perincian, 134 jiwa laki – laki, 107 perempuan, golongan umur 15 – 24 tahun sebanyak 56 penderita, golongan umur 25 – 44 tahun sebanyak 96 penderita, golongan umur 45 – 64 tahun sebanyak 61 penderita dan golongan umur 65 tahun ke atas sebanyak 16 penderita, 12 penderita meninggal.Pada tahun 2010 jumlah penderita sebanyak 479 dengan perincian, 239 jiwa penderita laki – laki, 240 jiwa penderita penderita, golongan umur 15 – 24 tahun sebanyak 175 penderita, golongan umur 25 – 44 tahun sebanyak 165 penderita, golongan umur 45 – 64 tahun sebanyak 103 penderita, golongan umur 65 ke atas sebanyak 31 penderita, meninggal 5 penderita. (Rekam Medik RSU Dr. R. Soedjono Selong, 2010).
Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa angka kejadian Thypus Abdominalis masih sangat tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai factor antara lain : pengetahuan tentang kesehatan diri dan lingkungan yang masih relative rendah, penyediaan air bersih yang tidak memadai keluarga dengan hygiene sanitasi yang rendah, permasalahan pada identifikasi dan penatalaksanaan karier, keterlambatan membuat diagnosis yang pasti, patogenesis dan factor virulensi yang belum dimengerti sepenuhnya serta belum tersedianya vaksin efektif aman dan murah menurut Pang dalam (Soegeng Soegijanto, 2002; 2).
Typhoid atau dapat juga disebut sebagai Thypus Abdominalis atau demam enterik (enteric fever) adalah suatu penyakit infeksi akut pada saluran pencernaan (terutama usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaraan.(Ngastiyah, 2005; 236). Thypus Abdominalis disebabkan oleh maksuknya kuman Salmonella Typhi (S.typhi) dan Salmonella Paretyphi (S.paratyphi) kedalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi oleh kuman (Aru W.Sudoyo, dkk, 2007)
Untuk itu, penanganan yang tepat sangat diperlukan untuk menurunkan angka morbiditas Thypus Abdominalis. Penanganan dilingkungan dengan cara menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya hidup sehat melalui upaya promotif dan freventif. Selain itu, penanganan dirumah sakit melalaui upaya kuratif dan rehabilitative juga sangat diperlukan yaitu dengan cara perawatan yang baik seperti tirah baring, memberikan makanan yang lunak untuk mengurangi dan mencegah pendarahan pada usus, serta pemberian obat-obatan antibiotik (Mansjoer Arif, 2002).
Melihat permasalahan di atas penulis tertarik untuk mengambil kasus mengenai Thypus Abdominalis yang masih belum teratasi, penulis juga ingin turut berpartisifasi dalam penanganan Thypus Abdominalis ini dengan cara mengambil kasus Thypus Abdominalis dalam pembuatan Laporan Akhir dengan judul Asuhan Keperawatan pada Klien Dengan Diagnosa Medis Thypus Abdominalis di Rumah Sakit Umum Dr. R. Soedjono Selong, Lombok Timur.

1.2 Tujuan Penulisan
1.3.1. Tujuan Umum
Penulis mampu memahami dan menerapkan konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa medis Thypus Abdominalis melalui pendekatan proses keperawatan sesuai standar.
1.3.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penulisan Laporan Akhir ini yaitu penulis mampu :
a. Menjelaskan konsep dasar penyakit Typhus Abdominalis, terdiri dari pengertian, anatomi dan fisiologi, penyebab, patofisiogis, pathways, tanda dan gejala, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan komplikasi, prognosis, dan Konsep Asuhan Keperawatan pada klien dengan diagnosa medis Thypus Abdominalis
b. Melakukan pengkajian pada Ny. ”T” dengan diagnosa medis Thypus Abdominalis
c. Merumuskan diagnosa keperawatan pada Ny. ”T” dengan diagnosa medis Thypus Abdominalis
d. Menyusun rencana tindakan keperawatan pada Ny. ”T” dengan diagnosa medis Thypus Abdominalis
e. Melakukan tindakan keperawatan pada Ny. ”T” dengan diagnosa medisThypus Abdominalis.
f. Melakukan evaluasi pada Ny. ”T” dengan diagnosa medis Thypus Abdominalis.
g. Mendokumentasikan Asuhan Keperawatan pada Ny. ”T” dengan diagnosa medis Thypus Abdominalis dilakukan dalam bentuk Laporan Akhir.

1.3 Tempat dan Waktu
1.3.1. Tempat Pelaksanaan
Di Ruang Interna Rumah Sakit Umum Daerah Dr. R. Soedjono Selong Lombok Timur.
1.3.1. Waktu Pelaksanaan
Pengambilan kasus kelolalaan dilaksanakan pada tanggal 30 maret s/d 2 april 2011




1.4 Sistematika Penulisan
Untuk dengan mudah memahami isi Laporan Akhir ini, penulis membagi penyusunan dalam 4 Bab yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu :
Bab 1 adalah Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, tujuan penulisan, tempat dan waktu, serta sistematika penulisan.
Bab 2 adalah Tinjauan Teori yang menguraikan tentang konsep dasar penyakit yang terdiri dari pengertian, anatomi fisiologi, etiologi, pathofisiologi/pathways, tanda dan gejala, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, dan konsep dasar tentang asuhan keperawatan mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana tindakan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.
Bab 3 adalah Tinjauan Kasus yang membahas tentang Asuhan Keperawatan yang penulis laksanakan pada klien.
Bab 4 adalah Kesimpulan dan Saran meliputi tentang kesimpulan yang penuis dapatkan setelah memberikan asuahan keperawatan kepada klien. Selain itu, penulis juga memberikan saran kepada institusi, rumah sakit, dan mahasiswa.





BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1. Konsep Dasar Penyakit Thypus Abdominalis
2.1.1 Pengertian
Thypus Abdominalis (demam typhoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna, dan gangguan kesadaran (Mansjoer Arif, dkk, 2000).
Thypus Abdominalis adalah penyakkit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran (Suriadi, Yuliani Rita, 2001).
Thypus Abdominalis (demam typhoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan, dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2002).
Demam Typhoid (enteryk fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaaan dan gangguan kesadaran (Nursalam, dkk, 2005)
Menurut berbagai sumber diatas penulis dapat menyimplukan bahwa:
Thypus Abdominalis merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang usus halus dengan menunjukkan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran, yang apabila tidak segera diobati secara proresif dapat menyerang jaringan diseluruh tubuh (Jan Tambayong, 2000).
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan
a. Anatomi Pencernaan
Saluran pencernaan makanan secara umum terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut: mulut, Pharynk (tekak) Oesophagus (kerongkongan) gaster ( lambung), usus halus, colon (usus besar) rektum dan anus.









Gambar 2.1 Anatomi System Pencernaan
(Sumber :Icon Learning System All Rights Reserved, 2003)
1) Mulut (Oris)
Mulut merupakan jalan masuk menuju sistem pencernaan dan berisi organ aksesori yang berfungsi dalam proses awal pencernaan.
Secara umum mulut terdiri atas 2 bagian yaitu :
a) Bagian luar yang sempit (vestibula) yaitu ruang diantara gusi, gigi, bibir dan pipi.
b) Bagian rongga mulut (bagian dalam), yaitu rongga mulut yang dibatasi sisinya oleh tulang maksilaris, palatum dan mandibularis disebelah belakang bersambung dengan faring
Selaput lendir mulut ditutupi epitelium yang berlapis-lapis, di bawahnya terletak kelenjar-kelenjar halus yang mengeluarkan lendir, selaput ini kaya akan pembuluh darah dan juga memuat banyak ujung akhir saraf sensoris. Disebelah luar mulut ditutupi oleh kulit dan disebelah dalam ditutupi oleh selaput lendir (mukosa).
2) Faring
Merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan (oesofagus). Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi. Disini terletak bersimpakan antara jalan nafas dan jalan makanan, yang letaknya di belakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang.
Jalan udara dan jalan makanan pada faring terjadi penyilangan. Jalan udara masuk ke bagian depan terus ke leher bagian depan sedangkan jalan makanan masuk ke belakang dari jalan nafas dan didepan dari ruas tulang belakang.
3) Oesofagus
Merupakan saluran yag menghubungkan letak dengan lambung, panjangnya sekitar 9 sampai dengan 25 cm dengan diameter sekitar 2. 54 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak di bawah lambung. Esofagus berawal pada area laringofaring, melewati diafragma dan hiatus esofagus. Esofagus terletak dibelakang trakea dan di depan tulang tulang punggung setelah melalui toraks menembus diafragma masuk ke dalam abdomen menyambung dengan lambung.
Lapisan terdiri dari 4 lapis yaitu mucosa, submucosa, otot (longitudinal dan sirkuler), dan jaringan ikat renggang. Makanan atau bolus berjalan dalam oesofagus karena gerakan peristaltik, yang berlangsung hanya beberapa detik saja.

4) Lambung (gaster)
Merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling banyak terutama di daerah epigaster, lambung terdiri dari bagian atas fundus uteri berhubungan dengan eosofagus melalui orifisium pilorik, terletak di bawah diafragma di depan pankreas dan limpa, menempel di sebelah kiri fundus utreri.
Bagian-bagian lambung terdiri dari :
a) Fundus ventrikuli, bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah kiri osteum kardium dan biasanya penuh berisi gas.
b) Korpus ventrikuli, setinggi osteum kardium, suatu lekukan pada bagian bawah kurvantura minor.
c) Antrum pilorus, bagian lambung berbentuk tabung mempunyai otot yang tebal membentuk spinter pilorus.
d) Kurvatura minor, terdapat sebelah kanan lambung terbentang dari osteum kardiak sampai ke pilorus.
e) Kurvatura mayor, lebih panjang dari kurvatura minor terbentang dari sisi kiri osteum kardiakum melalui fundus ventrikuli menuju ke kanan sampai ke pilorus inferior. Ligamentum gastro lienalis terbentang dari bagian atas kurvatura mayor sampai ke limpa.
f) Osteum kardiakum, merupakan tempat dimana osofagus bagian abdomen masuk ke lambung, pada bagian ini terpadat orifisium pilorik.
5) Usus Halus
Adalah saluran pencernaan diantara lambung dan usus besar, yang merupakan tuba terlilit yang merentang dari sfingter pylorus sampai katup ileosekal, tempatnya menyatu dengan usus besar.
Susunan usus halus terdiri dari:
a) Duodenum
Organ ini disebut juga usus 12 jari panjangnya 25 – 30 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri pada lengkungan ini terdapat pancreas yang menghasilkan amilase yang berfungsi mencerna hidrat arang menjadi disakarida. Duodenum merupakan bagian yang terpendek dari usus halus.
b) Yeyunum
Adalah bagian kelanjutan dari duodenum yang panjangnya kurang lebih 1 – 1,5 m.


c) Ileum
Ileum merentang sampai menyatu dengan usus besar dengan panjang 2 – 2,5 meter. Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritonium yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium. Ujung bawah ileum berhubungan dengan sekum dengan perantaraan lubang yang berwarna orifisium ileosikalis, Orifisium ini diperkuat oleh spinkter, ileoseikalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula seikalis atau valvula baukini yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam koon asendens tidak masuk kembali ke ileum.
Mukosa usus halus, yaitu permukaan epitel yang sangat luas melalui lipatan mukosa dan mikrovilli memudahkan pencernaan dan absorpsi, lipatan ini dibentuk oleh mukosa dan sub mukosa yang memperbesar permukaan usus. Pada penampang melintang vili dilapisi oleh epitel dan kripta yang menghasilkan bermacam-macam hormon jaringan dan enzim yang memegang peranan aktif dalam pencernaan.


6) Hati (Hepar)
Organ yang paling besar di dalam tubuh kita, warnanya coklat dan beratnya 1500 g. Letaknya di bagian atas dalam rongga abdomen di sebelah kanan bawah diafragma. Hepar terletak di quadran kanan atas abdomen, di bawah diafragma dan terlindungin oleh tulang rusuk (costae), sehingga dalam keadaan normal (hepar yang sehat tidak teraba). Hati menerima darah teroksigenasi dari arteri hepatica dan darah yang teroksigenasi tetapi kaya akan nutrien vena porta hepatica.
7) Kandung Empedu
Sebuah kantong terbentuk terang dan merupakan membran berotot, letaknya dalam sebuah lobus disebelah permukaan bawah hati sampai pinggir depannya, panjangnya 8 – 12 cm berisi 60 cm3.
Empedu yang diproduksi oleh sel-sel hati memasuki kanalikuli empedu yang kemudian menjadi duktus hepatica kanan dan kiri. Duktus hepatica menyatu untuk membentuk duktus hepatic komunis yang kemudian menyatu dengan duktus sisticus dari kandung empedu dan keluar dari hati sebagai duktus empedu komunis.
Duktus empedu komunis bersama dengan duktus pancreas bermuara diduodenum atau dialihkan untuk penyimpanan dikandung empedu.
8) Pankreas
Pankreas adalah kelenjar terelongasi berukuran besar dibalik kurvatura besar lambung.
Kelenjar Pankreas adalah sekumpulan keleanjar yang strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata-rata 60-90 gr. Terbentang pada vertebral lumbalis I & II di belakang lambung.
9) Usus besar
Usus besar merupakan bagian akhir dari proses pencernaan, karena sebagai tempat pembuangan, maka di usus besar sebagian nutrien telah dicerna dan diaborbsi dan hanya menyisakan zat-zat yang tidak tercerna. Makanan biasanya memerlukan waktu dua sampai lima hari untuk menempuh ujung saluran pencernaan. Dua sampai enam jam di lambung, enam sampai delapan jam di usus halus, dan sisa waktunya berada di usus besar.


Panjangnya ± 1,5 m, lebarnya 5-6 cm. Lapisan-lapisan usus besar dari dalam ke luar adalah selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot memanjang, dan jaringan ikat. Ukurannya lebih besar dari pada usus halus, disini terdapat taenia coli dan apendiks epiploika, mukosanya lebih halus dari pada usus halus dan tidak memiliki villi, tidak memiliki lipatan-lipatan sirkulel (plicae circulares). Serabut otot longitudinal dalam muskulus externa membentuk tiga pita, taenia coli yang menarik kolon menjadi kantong-kantong besar yang disebut haustra. Di bagian bawah terdapat katup ileosekal yaitu katup antara usus halus dan usus besar. Katup ini tertutup dan akan terbuka untuk merespon gelombang peristaltic, sehingga memungkinkan kimus mengalir 15 ml sekali masuk dan untuk total aliran sebanyak 500 ml/hari.
Usus besar terdiri dari caecum, colon ascendens, colon transversum, colon descendens, colon sigmoid, rectum dan canalis ani serta spinkter ani.
10) Rektum & Anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda buang air besar.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus. Suatu cincin berotot (sfingter ani) menjaga agar anus tetap tertutup.
b. Fisiologi Sistem Pencernaan
Fungsi utama Sistem pencernaan adalah memindahkan zat nutrien (zat yang sudah dicerna),air,dan garam yang berasal dari zat makanan untuk didistribusikan ke sel-sel melalui sistem sirkulasi. Adapun fungsi sistem saluran pencernaan adalah sebagai berikut :
1) Fungsi Mulut (Oris)
Mulut merupakan jalan masuk menuju sistem pencernaan dan berisi organ aksesori yang berfungsi dalam proses awal pencernaan.



2) Fungsi Oesofagus
Fungsi oesofagus adalah menggerakkan makanan dari faring ke lambung melalui gerak peristaltis. Mukosa esofagus memproduksi sejumlah besar mucus untuk melumasi dan melindungi esofagus tetapi esofagus tidak memproduksi inzim pencernaan.
3) Fungsi Lambung
a) Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh peristaltik lambung dan getah lambung. Kapasitas lambung normal memungkinkan adanya interval waktu yang panjang antara saat makan dan kemampuan menyimpan makanan dalam jumlah besar sampai makanan ini dapat terakomodasi di bagian bawah saluran.
b) Produksi kimus, aktivitas lambung mengakibatkan terbentuknya kimus (massa homogen setengah cair, berkadar asam tinggi yang berasal dari bolus) dan mendorongnya ke dalam duodenum.
c) Digesti protein, lambung memulai digesti protein melalui sekresi tripsin dan asam klorida.
d) Produksi mucus, mucus yang dihasilkan dari kelenjar membentuk barier setebal 1 mm untuk melindungi lambung terhadap aksi pencernaan dari sekresinya sendiri.
e) Produksi faktor intrinsik, yaitu glikoprotein yang disekresi sel parietal dan vitamin B12 yang didapat dari makanan yang dicerna di lambung yang terikat pada faktor intrinsik. Komplek faktor intrinsik vitamin B12 dibawa ke ileum usus halus, dimana tempat vitamin B12 di absorbsi.
f) Absorbsi, di lambung hanya terjadi absorbsi nutrien sedikit. Beberapa zat yang diabsorbsi antara lain adalah beberapa obat yang larut (aspirin) dan alkohol diabsorbsi pada dinding lambung serta zat yang larut dalam air terabsorbsi dalam jumlah yang tidak jelas.
g) Getah cerna lambung
Getah cerna lambung yang dihasilkan adalah :
(1) Pepsin, fungsinya, memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan pepton)
(2) Asam garam (HCI), fungsinya mengasamkan makanan, sebagai anti septik dan desinfektan dan membuat suasana asam pada pepsinogen sehingga menjadi pepsin.
(3) Renin, fungsinya sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk kasein dari kasinogen (kasinogen dan protein susu).


4) Fungsi usus halus
a) Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler-kapiler darah dan saluran-saluran limfe dengan proses berikut :
(1) Menyerap protein dalam bentuk asam amino,
(2) Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida
Secara selektif mengabsorbsi produk digesti dan juga air, garam dan vitamin.
5) Fungsi Hati
a) Sekresi
(1) Hati memproduksi empedu dibentuk dalam sistem retikulo endotelium yang dialirkan ke empedu yang berperan dalam emulsifikasi dan absorbsi lemak.
(2) Menghasilkan enzim glikogenik yang mengubah.
b) Metabolisme
(1) Hati berperan serta dalam mempertahankan homeostatik gula darah.
(2) Hati menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen dan mengubahnya kembali menjadi glukosa jika diperlukan tubuh.
(3) Hati mengurai protein dari sel-sel tubuh dan sel darah merah yang rusak dan hasil penguraian protein menghasilkan urea dari asam amino berlebih dan sisa nitrogen. Hati menerima asam amino diubah menjadi ureum dikeluarkan dari darah oleh ginjal dalam bentuk urine.
(4) Hati mensintesis lemak dari karbohidrat dan protein
c) Penyimpanan
(1) Hati menyimpan glikogen, lemak, vitamin A, D, E, K, dan zat besi yang disimpan sebagai feritin, yaitu suatu protein yang mengandung zat besi dan dapat dilepaskan bila zat besi diperlukan.
(2) Mengubah zat makanan yang diabsorbsi dari usus dan disimpan di suatu tempat dalam tubuh, dikeluarkannya susuai dengan pemakaiannya dalam jaringan.
d) Detoksifikasi
(1) Hati melakukan inaktivasi hormon dan detoksifikasi toksin dan obat dan memfagositosis eritrosit dan zat asing yang terdisintegrasi dalam darah.
(2) Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk dieksresi dalam empedui dan urin (mendetoksifikasi).
e) Membentuk dan menghancurkan sel-sel darah merah selama 6 bulan masa kehidupan fetus yang kemudian diambil alih oleh sumsum tulang belakang.


6) Fungsi Kandung Empedu
a) Sebagai persediaan getah empedu dan membuat getah empedu menjadi kental.
b) Getah empedu adalah cairan yang dihasilkan oleh sel-sel hati jumlah setiap hari dari setiap orang dikeluarkan 500 – 1000 ml sehari yang digunakan untuk mencerna lemak 80% dari getah empedu pigmen (warna) insulin dan zat lainnya.
7) Fungsi Pankreas
a) Fungsi eksokrin (asinar), yang membentuk getah pankreas yang berisi enzim-enzim pencernaan dan larutan berair yang mengandung ion bikarbnat dalam konsentrasi tinggi. Produk gabungan sel-sel asinar mengalir melalui duktus pancreas, yang menyatu melalui duktus empedu komunis dan masuk keduodenum di titik ampula hepatopankreas. Getah pankreas ini dikirim ke dalam duodenum melalui duktus penkreatikus, yang bermuara pada papila vateri yang terletak pada dinding duodenum. Pankreas menerima darah dari arteri penkreatika dan mengalirkan darahnya ke vena kava inferior melalui vena pankreatika.
b) Fungsi endokrin (pulau langerhans), sekelompok kecil sel epitelium yang berbentuk pulau-pulau kecil atau kepulauan langerhans, yang bersama-sama membentuk organ endokrin yang mensekresikan insulin dan glukagon yang langsung dialirkan ke dalam peredaran darah dibawa ke jaringan tanpa melewati duktus untuk membantu metabolisme karbohidrat.
8) Fungsi Usus Besar
Fungsi usus besar antara lain adalah :
a) Menyerap air dan elektrolit 80% sampai 90% dari makanan dan mengubah dari cairan menjadi massa.
b) Tempat tinggal sejumlah bakteri koli, yang mampu mecerna sejumlah kecil selulosa dan memproduksi sedikit kalori nutrien bagi tubuh dalam setiap hari.
c) Memproduksi vitamin antara lain Vitamin K, ribovlafin, dan tiamin serta berbagai gas.
d) Penyiapan selulosa yang berupa hidrat arang dalam tumbuh-tumbuhan, buah-buahan dan sayuran hijau.






2.1.3 Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah Salmonella Tyhiposa, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
a. Basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar dan tidak berspora.
b. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen O, antigen H (plagella), dan antigen Vi (Nursalam, dkk,2005)
Masuknya kuman Salmonella Typhi (S,typhi) dan Salmonnella paretyphi (S.paratyphi) kedalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman (Aru W.Sudoyo, dkk, 2007).
Selain itu penyakit Tipus Abdomnalis juga bisa didukung oleh faktor-faktor antara lain : pengetahuan tentang kesehatan diri dan lingkungan yang relative rendah, penyediaan air bersih yang tidak memadai. Keluarga dengan hygiene sanitasi yang rendah, pemasalahan pada identifikasi dan pelaksanaan karier, keterlambatan membuat diagnosis yang pasti, patogenesis dan faktor virulensi yang belum dimengerti sepenuhnya serta belum tersedianya vaksin yang efektif,aman dan murah Pang dalam (Soegijanto Soegeng,2002)





2.1.4 Pathofisiologi
Kuman masuk melalui mulut. Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke unsur halus, kejaringan limpoid dan berkembang biak menyerang vili usus halus, kemudian kuman masuk kepredaran darah (baktrimia primer) dan mencapai sel-sel endoteled, hati, limpa dan organ-organ lainnya.
Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel retikulo endoteleal melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan menimbulakan bakterimia untuk kedua kalinya. Selanjutnyakuman masuk kebeberapa jaringan organ tubuh, terutama limpa, usus dan kandungan empedu.
Pada minggu pertama sakit, terjadi hiprplasia plak nyeri. Ini terjadi pada kelenjar limpoid usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis dan minggu ketiga terjadi ulserasi palks player. Pada minggu ke-empat terjadi penyebuhan ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik. Mikus dapat menyebabkan pendarahan, bahkan perforasi usus. Selain itu hepar, kelenjar-kelenjar mensentrialdan limpa membesar.
Gejala demam di sebapkan oleh endotoksin, sedangkan pada saluran pencernaan di sebapkan kelainan pada khusus halus. (Suriadi, dkk,2001)


2.1.5 Pathways
Salmonella typhosa

Saluran pencernaan

Diserap oleh usus halus

Bakteri memasuki aliran darah sistemik


Kuman Mengeluarkan Hati Limpa
Endotoksin
Cairan Empedu Splenomegali
Menyebar
Keseluruh Tubuh Masuk Duodenum Mual, Muntah &
Anoreksia
Mempengaruhi Pusat
Termoregulator di Hipotalamus Kolesititis Gg. Pemenuhan
Keb. Nutrisi
Menimbulkan Demam Infeksi Pd Intestinal
Intermitten (Ileum)


Hipertermi Peristaltik Usus



Berkeringat Banyak
Bibir kering, Haus Gg. Defekasi (Diare)


Gg. Pemenuhan
Keb. Cairan


Terjadi Iritasi
Pada Mukosa Usus

Motilitas Usus Gg. Defekasi
Mengalami Perubahan (Konstipasi)

Bagan Pathways Thypus Abdominalis (Suriadi, dkk, 2001)


2.1.6 Tanda dan Gejala
Gejala-gejala yang timbul berpariasi dalam minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya,yaitu demam,nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,batuk dan opitaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya di dapatkan peningkatan suhu badan.
Dalam minggu kedua menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatife, lidah tifoid (kotor di tengah,tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomigali, splenonegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma, sedangkan roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia (Manssoer Arif, dkk, 2001)
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3-30) hari. Selama masa inkubuisasi mungkin gejolak prodromal berupa rasa tidak enak badan.
Pada kasus khas terdapat demam remiten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, pasien terus berada dalam keadaan demam, yang turun berangsur angasur pada minggu ke tiga.
Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tumor hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat konstipasi tetapi mungkin normal bahkan dapat diare (Manjoer Arif dkk, 2000)

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering di temukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi skunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali menigkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
b. Uji Widal
Uji widal di lakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakanpada uji widal adalah suspensi Salmonelle yang sudah dimatikan dan di olah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu ;
1) Aglutin in O ( dari tubuh kuman )
2) Aglutinin H ( flagela kuman )
3) Aglutinin Vi ( simpai kuman )
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap di jumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menetukan kesembuhan penyakit.
Kadar aglutinin O dan H pada orang normal di daerah endemis yaitu 1/160, sehingga kadar aglutinin yang mempunyai diagnostik thypus abdominalis adalah 1/320,sedangakan di daerah nonendemis pemeriksaan titer anti bodi O tunggal > 1/40. pemeriksaan titer H tunggal mempunyai sensitifitas yang serupa tetapi spesivitasnya lebih rendah. Aglutinin H sering kali meningkat secara tidak khas karena imunisasi atau infeksi sebelumnya dengan bakteri lain.



c. Kultur darah
1) Hasil biakan darah yang positf memastikan demam tifoid, akan tertapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut:
2) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapatkan antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif.
3) Volume darah yang kurang (kurang lebih 5cc darah). Bila darah yang di biak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang di ambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan kedalam media cair empedu.
4) Riwayat vaksinal. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan anti bodi dalam darah pasien. Anti bodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif. (Aru W.Sudoyo dkk,2006).







2.1.8 Penatalaksaan.
Dilakukan bila klinis menyokong karena differia tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang. Tata laksana umum dengan tirah baring, isolasi pasien, pengawasan ketat atas kemungkinan konflikasi, antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu. Pasien dirawat selama 3-4 minggu , sedangkan secara khusus.
a. Anti Diphtheria Serum (ADS) diberikan dengan dosis 20.000-100.000 untuk begantung pada lokasi, adanya konflikasi dan durasi penyakit.sebelumnya lakukan uji kulit (pengenceran 1;100) atau mata (pengeceran 1:10). Bila pasien sensitif, lakukan desensifisasi cara besredka.
b. Antibiotic – penisilin prokain 50.000 untuk/kg BB/hari sampai 10 hari. Bila derfi, berikan eritromisin 40 mg/kg BB/hari. Bila dilakukan trakeastomi, tambahkan kloramfenikol 75 mg/kg BB/hari dalam dosis.
c. Kortikosteroid – digunakan untuk mengurangi edema laring dan mencegah konflikasi miokarditis. Diberikan prednisone 2 mg/ kg BB/ hari selama 3 minggu yang ditentukan secara bertahap (tapering off)
d. Bila ada konflikasi paresis otot dapat diberikan strikain 1/4 mg dan (Mansjoer Arif dkk. 2001).

Adapun penatalaksanaan menurut (Aru W.Sudoyo dkk,2006) sebagai berikut :
a. Tirah baring / bedrest dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,mandi, buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.
b. Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam typhoid. Karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan semakin lama.penderita demam typhoid diberikan diet bubur saring ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus, pemberian makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat)
c. Obat-obat :
1) Antimikroba :
a) Kloramfenikol 4 X 500 mg sehari/iv
b) Tiamfenikol 4 X 500 mg sehari oral
c) Kotrimoksazol 2 X 2 tablet sehari oral (1 tablet = sulfametoksazol 400 mg + trimetoprim 80 mg) atau dosis yang sama iv, dilarutkan dalam 250 ml cairan infus.
d) Ampisilin atau amoksisilin 100 mg/kg BB sehari oral/iv, dibagi dalam 3 atau 4 dosis.
Antimikroba diberikan selama 14 hari atau sampai 7 hari bebas demam.
2) Antipiretik seperlunya
3) Vitamin B kompleks dan vitamin C.
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi (Nursalam, dkk:2005), berupa:
a. Perdarahan usus. Apabila perdarahan banyak dapat terjadi melena, yang bias disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
b. Perforasi yang tidak disetai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum.
c. Peritonitis. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defense musculair), dan nyeri tekan.
d. Komplikasi diluar usus. Terjadi akibat sepsis, yaitu: menginitis, kolesistitis, ensefelopati, dan lain-lain. Diluar usus ini terjadi akibat infeksi skunder, yaitu bronkopnemonia.

2.1.10 Prognosis
Prognosis thypus abdominalis umumnya baik bila pasien cepat berobat prognosis kurang baik bila terdapat gejala klinis yang berat seperti hiperpireksia (demam tinggi) atau febris kontinua. Penurunan kesadaran (sopor, koma, atau delirium), komplikasi berat seperti dehidrasi, asidosis, perforasi, usus, dan gizi buruk. (Arif Mansjoer, 2000).
2.1.11 Pencegahan
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi thypus, yaitu:
a. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhy baik pada kasus Thypus Abdominalis maupun kasus karier thypus.
b. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi Salmonella Typhi akut maupun karier.
c. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi.








2.2. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Diagnosa Medis Typus Abdominalis.
Proses keperawatan adalah cara yang sistematis yang dilkukan oleh perawat bersama klien dalam menentukan kebutuhan asuhan keperawatan dengan melakukan pengkajian, menentukan diagnosis, nerencanakan tindakan yang akan dilakukan, melaksanakan tindakan serta mengevaluasi hasil asuhan yang telah diberikan dengan berfokus pada klien, berorientasi pada tujuan setiap tahap saling terjadi ketergantungan dan saling berhubungan.(Aziz Alimul Hidayat, 2004; 95)
Menurut Ali zaidin (2002) proses Keperawatan terdiri dari lima tahapan, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi.
Proses keperawatan adalah suatu metode yang sistematis untuk mengkaji respon mansia terhadap masalah kesehatan yang membuat rencana keperawatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah tersebut. Askep adalah langkah-langkah dalam penerapan asuhan keperawatan meliputi : pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana tindakan, tindakan keperawatan, dan evaluasi keperawatan (Nursalam, 2005).
2.2.1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam mengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Tahap pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan usuhan keperawatan sesuai dengan kedbutuhan individu. Oleh karena itu, pengkajian yang akurat, lengkap, sesuai dengan kenyataan, kebenaran data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan dan medmberikan pelayanan kepedrawatan sesuai dengan respon individu. (Nursalam, 2001).
Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses keperawatan yang mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu:
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan penderita yang dapat di proleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.
1) Identitas klien
Identitas klien meliputi Usia yaitu sering terjadi pada usia diatas 1 tahun, di daerah endemic Thypus Abdominalis insidensi tertinggi didapatkan pada anak-anak.
2) Keluhan Utama
Adanya rasa mual, muntah, sakit atau nyeri epigastrium sampai kejang perut, demam sampai kesadaran menurun.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Berisi tentang kapan mulai terjadinya sakit serta upaya yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat medis yang pernah didapat maupun obat-obatan yang bias digunakan oleh penderita.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat apakah ada salah satu anggota keluarga yang juga menderita typhoid fever
6) Pola Kebiasan Sehari-hari
Meliputi informasi mengenai perilaku, perasaan dan emosi yang dialami oleh penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakit penderita.
7) Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang di alami penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap penyakitnya tersebut.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien Thypus Abdominalis dalam melakukan pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara persystem:
1) B 1 (Breathing)
Adalah sesak nafas, batuk, sputum, nyeri dada. Pada penderita Thypus Abdominalis frekuensi pernapasan meningkat.


2) B 2 (Blood)
Perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau berkurang, takikardia, hipotensi, aritmia, kardiomegali.
3) B 3 (Brain)
Terjadi penurunan sensoris, parasthesia, anesthesia, letargi, mengantuk, kacau mental, disorientasi.
4) B 4 (Blader)
Oliguria, anuria, retensi urine, inkontinensia urine, rasa sakit atau panas saat berkemih.
5) B 5 (Bowel)
Perubahan berat badan, peningkatan lingkar abdomen, obesitas, nyeri epigastrium.
6) B 6 (Bone)
Turgor kulit menurun, suhu badan meningkat, perubahan berat badan, cepat lelah, lemah dan nyeri epigastrium.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan, yaitu: (Nursalam, 2005).
1) Pada pemeriksaan darah tepi terhadap gambaran leucopenia, limpositosis relative, dan anepsinofilla pada permukaan sakit.


2) Darah untuk kultur (biakan, empedu) dan widal
3) Biakan empedu hasil salmonella tyhposa dapat ditemukan dalam darah pasien pada minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urine dan feces.
4) Pemeriksaan widal untuk membuat diagnosis, pemeriksaan yang diperlukan adalah titer zat anti terhadap antigen O. titer yang bernilai 1/200 atau lebih menunjukkan kenaikan progresif.
2.2.2. Diagnosa Keperawatan (NANDA)
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat secara akungitabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan, membatasi dan mencegah.
Diagnosa keperawatan “Keputusan klinik tentang respon individual, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau potensial, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan dengan kewenangan perawat (Nursalam: 2001).
Diagnosa keperawatan menurut Carpenito: 2000 dapat dibedakan menjadi 5 kategori: Aktual, Resiko, Syndrom, kemungkinan dan Wellness
a. Aktual
Menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai dengan data klinik yang ditemukan.
b. Resiko
Menjelaskan masalah kesehatan yang nyata akan terjadi jika tidak dilakukan Intervensi.
c. Kemungkinan
Menjelaskan bahwa perlu adanya data tambahan untuk memastikan masalah keperawatan kemungkianan.
d. Wellness
Keputusan klinik tentang keadaan individu, keluarga, masyarakat dalam transisi dari tingkat sejahtera tertentu ke tingkat sejahtera yang lebih tinggi.
e. Syndrom
Diagnosa yang terdiri dari kelompok diagnosa keperawatan aktual dan resiko tinggi yang di perkirakan akan muncul atau timbul karena suatu kejadian atau situasi tertentu.
Diagnosa keperawatan yang lazim muncul pada klien dengan thypus abdominalis menurut NANDA adalah:
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella thiposa (Diagnosa aktual)
b. Gangguan pada defekasi: diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.(Diagnosa potensial)
c. Perubahan pada defekasi: konstipasi berhubungan dengan proses peradangan pada dinding usus halus.(Diagnosa potensial)
d. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual, muntah / pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.(Diagnosa resiko)
e. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau ataupun yang berlebihan akibat diare.(Diagnosa resiko)
2.2.3. Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan adalah suatu dokumen tulisan tangan menyelesaikan masalah, tujuan dan intervensi. Perencanaan meliputi, pngembangan strategis desain untuk mencegah mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang diidentifikasi pada diagnose keperawatan. Tahap ini di mulai setelah menentukan diagnose keperawatan dan menyimpulkan rencana dokumentasi (Nursalam,dkk 2005).
Rencana tindakan keperawatan adalah pengkajian dan menentukan masalah yang sistematis, penentuan tujuan, serta strategi pelaksaan pemecahan masalah (Ali Zaidin, 2002).
Untuk mengevaluasi rencana tindakan keperawatan, maka ada beberapa komponen yang perlu di perhatikan: (Nusalam, 2001)
a. Menentukan prioritas berbagai cara dalam memprioritaskan masalah di antaranya:
1) Berdasaran Hierarki Maslow yaitu fisiologis, keamanan/ keselamatan, mencintai dan memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri.
2) Berdasarkan Griffth-Kenney Christensen dengan urutan:
a) Ancaman kehidupan dan kesehatan
b) Sumber dana dan daya yang tersedia
c) Peran serta pasien
d) Prinsip ilmiah dan prakik keperawatan
b. Menentukan kriteria hasil
Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam menentukan kriteria hasil yaitu SMART:
S (Spesific) bersifat spesifik dalam hal isi dan waktu misalnya pasien dapat menghabiskan 1 porsi makanan selama 3 har setelah operasi
M (measurable) dapat di ukur misalnya pasien dapat menyebutkan tujuan bedres total
A (achierable) artinya mempertimbangkan keadaan dan keinginaan pasien
R (Realistik) artinya dalam menentukan pilihan harys di pertimbangkan faktor fisiologis/patologis penyakit yang di alami dan sumber yang tersedia dan waktu pencapaian
T (Time) Menunjukkan jangka waktu tertentu.
c. Menentukan Rencana Tindakan
Tujuan perencanaan adalah untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan pasien. Tahapan perencanaan keperawatan adalah menentukan prioritas diagnosa keperawatan, penetapan sasaran dan tujuan, penetapan kriteria evaluasi dan merumuskan intervensi keperawatan.
d. Dokumentasi
Dokumentasi adalah suatu dokumen yang berisi data lengkap, nyata dan tercatat bukan hanya tentang tingkat kesakitan pasien tetapi tetapi juga jenis dan kwalitas pelayanan kesehatan yang diberikan.
Tujuan Utama Dokumentasi :
1) Mengidentifikasi status kesehatan klien dalam rangka mencatat kebutuhan klien, merencanakan, melaksanakan, tindakn keperawatan, dan mengevaluasitindakan.
2) Dokumentasi untuk penelitian, keuangan, hukum, dan etika.





Tabel 2.1 Rencana Tindakan
No Diagnosa Keperawatan Rencana Tindakan
Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Rasional
(1)
1




















1




(2)
Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typosa

















2
(3)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu tubuh klien kembali normal dengan kriteria hasil:
1. Suhu tubuh dalam rentang normal, yaitu 36,5-37,5 0 C
2. Nadi dan RR dalam rentang normal, yaitu :
Nadi : 60-100 x/mnt
RR : 12-24 x/mnt
3. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak pusing merasa nyaman.























3 (4)
1. Monitor suhu sesering mungkin

2. Monitor warna dan suhu kulit.
3. Monitor TD, nadi dan RR.

4. Monitor intake dan output.

5. Berikan anti piretik



6. Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam

7. Berikan cairan intravena


4
8. Kompres pasien pada lipat paha dan aksila


9. Monitor suhu minimal tiap 2 jam




10. Monitor TD, nadi dan RR


11. Tingkatkatkan intake cairan





12. Selimuti pasien

13. Vital sign monitoring

(5)
1.mengetahui status perkembangan klien.
2. sebagai petunjuk terjadinya dehidrasi
3. mengetahui status perkembangan klien.
4. menentukan status dehidrasi
5. pemberian anti piretik untuk menurunkan suhu tubuh klien
6. pemberian obat anti piretik dapat menurunkan suhu tubuh
7. untuk mencegah terjadinya dehidrasi

5
8. tempat terdapat pembuluh darah yang besar sehingga mengalami vasokontriksi
9. peningkatan dan penurunan suhu dapat dihubungkan pathogen tertentu dan resolusi infeksi
10. takikardia, hipotensia menunjukkan efek kehilangan cairan
11. mengganti cairan yang keluar lewat keringat,urine,menjaga keseimbangan asam basa serta pengaturan suhu tubuh
12. mencegah hilangnya kehangatan
13. mengetahui status perkembangan klien


(1)
2
























1 (2)

Risiko deficit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual, muntah,/pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.




































2 (3)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapkan tidak terjadi deficit volume cairan dengan criteria hasil :

1. Mempertahankan urine output
2. TD, nadi, suhu tubuh dalam batas normal,yaitu:
TD: 120/80 mmhg
Nadi: 90-100 x/mnt
Suhu: 36,5-37,5oC.
3. Tidak ada tanda dehidrasi elastitis. 4.turgor kulit baik 5.membran mukosa lembab tidak ada haus yang berlebihan.


























3 (4)
1. Pertahanan catatan intake dan output yang akurat

2. Monitor vital sign

3. Monitor masukan makanan/cairan dan hitung intake kalorio harian
4. Kolaborasi
pemberian cairan IV



5. Monitor status nutrisi



6. Berikan cairan IV

7. Dorong keluarga untuk membantu pasien makan




4
(5)
1. meyakinkan keseimbangan antara intake dan output

2. mengetahui status perkembangan klien
3. Pasien tidak mengkonsumsi cairan sama sekali mengakibatkan dehidrasi
4. pemberian cairan IV akan mengganti cairan yang hilang
5. untuk mengetahui terjadinya perubahan nutrisi pada klien
6. melakukan re dehidrasi

7. untuk terpenuhinya kebutuhan nutrisi klien

5
3
























1
Risiko ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia atau output yang berlebihan akibat diare



































2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi, dengan kriteria hasil :
1. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
2. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
3. Mampu mengidentifikasi kkebutuhan nutrisi
4. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
5. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berat


























3
1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien

2. Anjurkan fasien untuk meningkatkan intake fe




3. Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C

4. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi

5. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori




4

6. Monitor turgor kulit


7. Monitor mual dan muntah



8. Monitor pertumbuhan dan perkembangan


9. Monitor pusat kemerahan dan kekeringan jaringan konjungtive

10. Monitor kalori dan intake nutrisi
















1. formula nutrisi membantu absorpsi dibagian usus halus untuk memberi istirahat pada usus besar
2. pemberian vitamin C,dan B12 dapat mencegah terjadinya anemia,dan mempertinggi absorpsi zat besi
3. mencegah terjadinya anemia

4.mengkonsumsi sayur dan buah-buahan dapat mencegah konstipasi
5. untuk mengetahui terjadinya perubahan nutrisi klien
Dehidrasi


5
6. penurunan turgor menunjukkan kehilangan cairan
7. untuk mengetahui terjadinya perubahan nutrisi pada klien
8. untuk mengetahui status perkembangan klien
9. mengetahui adanya anemia

10. untuk mengetahui terjadinya perubahan nutrisi klien
1
4 2

Gangguan pada defekasi: diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus 3
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien tidak mengalami gangguan pada defecasi yaitu diare, dengan keriteria hasil :
1. Feses berbentuk BAB sehari sekali tiga kali
2. Menjaga daerah skitar rectal dari iritasi
3. Tidak mengalami diare
4. Menjelaskan penyebab diare dan rasional tindakan
5. Mempertahankan turgor kulit
4

1. Ajarkan pasien untuk menggunakan obat anti diare

2. Instruksikan pasien / keluarga untuk mencatat warna, jumlah frekuensi dan konsistensi dari feses

3. Hitung diare / keluaran BAB


4. Instruksikan pasien untuk makanan rendah serat, tinggi protein, tinggi kalori jika memungkinkan

5. Observasi turgor kulit secara rutin.

6. Monitor tanda dan gejala diare
5
1. menurunkan motalitas/peristaltik gastrointestinal.
2. membantu mengkaji beratnya penyakit yang diderita klien.


3. mengetahui seberapa berat diare yang di alami klien
4.Menghindarkan iritasi dan meningkatkan istirahat usus

5. Mengetahui derajat dehidrrasi
6. Menentukan seberapa jauh penanganan diare.

1
5 2

Perubahan pola defekasi : konstipasi berhubungan dengan proses peradangan pada dinding usus halus 3
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien tidak mengalami gangguan defekasi yaitu konstipasi,dengan criteria hasil :
1. mempertahankan bentuk feces lunak setiap 1-3 hari
2. .bebas dari ketidaknyamanan dari konstipasi
3. mngidentifikasi indicator untuk mencegah konstipasi
-n 4
1. Sediakan lingkungan yang aman bagi pasien

2. Membatasi pengunjung.



3. Monitor feces, frekuensi, konsistensi dan volume
4. Monitor bising usus


5. Jelaskan etiologi dan rasionalisasi tindakan terhadap klien.


6. Identifikasi faktor penyebab dan konstribusi konstipasi 5

1. memberikan rasa aman dan nyaman pada klien.

2. memberikan waktu istirahat untuk klien

3. Mendeteksi adanya darah dalam feces

4. untuk intervensi medis selanjutnya
5.Meningkatkan pengetahuan pasien tentang
Penyakit yang dideritanya.
6. Untuk menentukan intervensi selanjutnya






2.2.4. Tindakan Keperwatan
Tindakan keperawatan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik, tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping, ada tiga tahap dalam tindakan keperawatan yaitu persiapan, perencanaan, dan dokumentasi. (Nursalam, 2001).
2.2.5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawaan adalah : Tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Dengan mengukur perkembangn klien dalam mencapai suatu tujuan, maka perawat bisa menentukan efektifitas tindakan keperawatan. (Nursalam. 2001).
Tolak ukur yang digunakan untuk menilai pencapaian tujuan pada tahap evaluasi ini adalah kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan. Dengan berpatokan pada kriteria hasil tersebut dinilaiapakah masalah telah teratasi seluruhnya atau sebagian atau belum sama sekali atau justru timbul masalah baru.

Selanjutnya perkembangan respon klien dituangkan ke dalam catatan perkembangan klien dan diuraikan berdasarkan catatan uruatan SOAPIER, yaitu :
S (Subyektif) : Keluhan – keluhan yang dirasakan klien (apa yang dikatakan klien).
O (Obyektif) : Apa yang dilihat, dicium, diraba dan diukur perawat.
A (Assasment) : Kesimpulan perawat tentang kondisi klien.
P (Planing) : Rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi diagnosa atau masalah klien.
I (Implementation): Tindakan yang dilakukan berdasarkan rencana.
E (Evaluation) : Evaluasi berisi tentang sejauh mana rencana dan tindakan evaluasi tedlah dilaksanakan dan sejauh mana masalah pasien teratasi
R (Reasesment) : Bila berhasil evaluasi menunjukkan masalah belum teratasi, pengakajian ulang perlu dilakukan kembali melalui proses pengumpulan data subyektif, data objektif, dan proses analisis lainnya.