SELAMAT DATANG DI BLOG ASUHAN KEPERAWATAN SEMOGA BERMANFAATKADEK WAHYU ADI PUTRAASUHAN KEPERAWATAN GRATIS

Wednesday 31 October 2012

ASKEP ISK



INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)

A.     Pengertian
Infeksi Saluran Kemih (ISK) atau Urinarius Tractus Infection (UTI) adalah suatu keadaan adanya infasi mikroorganisme pada saluran kemih.
                                                                                              (Agus Tessy, 2001)
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada saluran kemih. (Enggram, Barbara, 1998)

B.     Klasifikasi
Jenis Infeksi Saluran Kemih, antara lain:
1.      Kandung kemih (sistitis)
2.       uretra (uretritis)
3.       prostat (prostatitis)
4.       ginjal (pielonefritis)
Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut, dibedakan menjadi:
1.      ISK uncomplicated (simple)
ISK sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran kencing tak baik, anatomic maupun fungsional normal. ISK ini pada usi lanjut terutama mengenai penderita wanita dan infeksi hanya mengenai mukosa superficial kandung kemih.
2.      ISK complicated
Sering menimbulkan banyak masalah karena sering kali kuman penyebab sulit diberantas, kuman penyebab sering resisten terhadap beberapa macam antibiotika, sering terjadi bakterimia, sepsis dan shock. ISK ini terjadi bila terdapat keadaan-keadaan sebagi berikut:
a.       Kelainan abnormal saluran kencing, misalnya batu, reflex vesiko uretral obstruksi, atoni kandung kemih, paraplegia, kateter kandung kencing menetap dan prostatitis.
b.      Kelainan faal ginjal: GGA maupun GGK.
c.       Gangguan daya tahan tubuh
d.      Infeksi yang disebabkan karena organisme virulen sperti prosteus spp yang memproduksi urease.

C.     Etiologi
1.      Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain:
a.       Escherichia Coli: 90 % penyebab ISK uncomplicated (simple)
b.      Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK complicated
c.       Enterobacter, staphylococcus epidemidis, enterococci, dan-lain-lain.
2.      Prevalensi penyebab ISK pada usia lanjut, antara lain:
a.       Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang kurang efektif
b.      Mobilitas menurun
c.       Nutrisi yang sering kurang baik
d.      Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral
e.       Adanya hambatan pada aliran urin
f.        Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat

D.    Patofisiologi
Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik dalam traktus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui : kontak langsung dari tempat infeksi terdekat, hematogen, limfogen. Ada dua jalur utama terjadinya ISK, asending dan hematogen. Secara asending yaitu:
-        masuknya mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain: factor anatomi dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada laki-laki sehingga insiden terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine saat miksi, kontaminasi fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan sistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang terinfeksi.
-        Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal

Secara hematogen yaitu: sering terjadi pada  pasien yang system imunnya rendah sehingga mempermudah penyebaran infeksi secara hematogen Ada beberapa hal yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen, yaitu: adanya bendungan total urine yang mengakibatkan distensi kandung kemih, bendungan intrarenal akibat jaringan parut, dan lain-lain.
Pada usia lanjut terjadinya ISK ini sering disebabkan karena adanya:
-        Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap atau kurang efektif.
-        Mobilitas menurun
-        Nutrisi yang sering kurang baik
-        System imunnitas yng menurun
-        Adanya hambatan pada saluran urin
-        Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.
Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat tersebut mengakibatkan distensii yang berlebihan sehingga menimbulkan nyeri, keadaan ini mengakibatkan penurunan resistensi terhadap invasi bakteri dan residu kemih menjadi media pertumbuhan bakteri yang selanjutnya akan mengakibatkan gangguan fungsi ginjal sendiri, kemudian keadaan ini secara hematogen menyebar ke suluruh traktus urinarius. Selain itu, beberapa hal yang menjadi predisposisi ISK, antara lain: adanya obstruksi aliran kemih proksimal yang menakibtakan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter yang disebut sebagai hidronefroses. Penyebab umum obstruksi adalah: jaringan parut ginjal, batu, neoplasma dan hipertrofi prostate yang sering ditemukan pada laki-laki diatas usia 60 tahun.
 

E.     Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala ISK pada bagian bawah (sistitis):
-        Nyeri yang sering dan rasa panas ketika berkemih
-        Spasame pada area kandung kemih dan suprapubis
-        Hematuria
-        Nyeri punggung dapat terjadi
Tanda dan gejala ISK bagian atas (pielonefritis)
-        Demam
-        Menggigil
-        Nyeri panggul dan pinggang
-        Nyeri ketika berkemih
-        Malaise
-        Pusing
-        Mual dan muntah

F.      Pemeriksaan Penunjang
1.      Urinalisis
-        Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sediment air kemih
-        Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.
2.      Bakteriologis
-        Mikroskopis
-        Biakan bakteri
3.      Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik
4.      Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria utama adanya infeksi.
5.      Metode tes
-        Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess untuk pengurangan nitrat). Tes esterase lekosit positif: maka psien mengalami piuria. Tes pengurangan nitrat, Griess positif  jika terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
-        Tes Penyakit Menular Seksual (PMS):
Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual (misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek).
-        Tes- tes tambahan:
Urogram intravena (IVU). Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau abses, hodronerosis atau hiperplasie prostate. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic, sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi yang resisten.

G.    Penatalaksanaan
Penanganan Infeksi Saluran Kemih (ISK) yang ideal adalah agens antibacterial yang secara efektif menghilangkan bakteri dari traktus urinarius dengan efek minimal terhaap flora fekal dan vagina.
Terapi  Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut dapat dibedakan atas:
-        Terapi antibiotika dosis tunggal
-        Terapi antibiotika konvensional: 5-14 hari
-        Terapi antibiotika jangka lama: 4-6 minggu
-        Terapi dosis  rendah untuk supresi
Pemakaian antimicrobial jangka panjang menurunkan resiko kekambuhan infeksi. Jika kekambuhan disebabkan oleh bakteri persisten di awal infeksi, factor kausatif (mis: batu, abses), jika muncul salah satu, harus segera ditangani. Setelah penanganan dan sterilisasi urin, terapi preventif dosis rendah.
Penggunaan medikasi yang umum mencakup: sulfisoxazole (gastrisin), trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, bactrim, septra), kadang ampicillin atau amoksisilin digunakan, tetapi E. Coli telah resisten terhadap bakteri ini. Pyridium, suatu analgesic urinarius jug adapt digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat infeksi.
Pemakaian  obat pada usia lanjut perlu dipikirkan kemungkina adanya:
-        Gangguan absorbsi dalam alat pencernaan
-        Interansi obat
-        Efek samping obat
-        Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal
Resiko pemberian obat pada usia lanjut dalam kaitannya dengan faal ginjal:
1.      Efek nefrotosik obat
2.      Efek toksisitas obat
Pemakaian obat pada usia lanjut hendaknya setiasp saat dievalusi keefektifannya dan hendaknya selalu menjawab pertanyaan sebagai berikut:
-        Apakah obat-obat yang diberikan benar-benar berguna/diperlukan/
-        Apakah obat yang diberikan menyebabkan keadaan lebih baik atau malh membahnayakan/
-        Apakah obat yang diberikan masih tetap diberikan?
-        Dapatkah sebagian obat dikuranngi dosisnya atau dihentikan?

H.    Pengkajian
1.      Pemerikasaan fisik: dilakukan secara head to toe dan system tubuh
2.      Riwayat atau adanya faktor-faktor resiko:
-        Adakah riwayat infeksi sebelumnya?
-        Adakah obstruksi pada saluran kemih?
3.      Adanya factor yang menjadi predisposisi pasien terhadap infeksi nosokomial.
-        Bagaimana dengan pemasangan kateter foley?
-        Imobilisasi dalam waktu yang lama.
-        Apakah terjadi inkontinensia urine?
4.      Pengkajian dari manifestasi klinik infeksi saluran kemih
-        Bagaimana pola berkemih pasien? untuk mendeteksi factor predisposisi terjadinya ISK pasien (dorongan, frekuensi, dan jumlah)  
-        Adakah disuria?
-        Adakah urgensi?
-        Adakah hesitancy?
-        Adakah bau urine yang menyengat?
-        Bagaimana haluaran volume orine, warna (keabu-abuan) dan konsentrasi urine?
-        Adakah nyeri-biasanya suprapubik pada infeksi saluran kemih bagian bawah
-        Adakah nyesi pangggul atau pinggang-biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas
-        Peningkatan suhu tubuh biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas.
5.      Pengkajian psikologi pasien:
-        Bagaimana perasaan pasien terhadap hasil tindakan dan pengobatan yang telah dilakukan? Adakakan perasaan malu atau takut kekambuhan terhadap penyakitnya.

I.       Diagnosa Keperawatan Yang Timbul
1.      Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan inflamasi dan infeksi uretra, kandung kemih dan sruktur traktus urinarius lain.
2.      Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius  lain.
3.      Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

J.      Intervensi Keperawatan
1.      Dx 1 :
Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan inflamasi dan infeksi uretra, kandung kemih dan struktur traktus urinarius lain.
Kriteria evaluasi:
Tidak nyeri waktu berkemih, tidak nyeri pada perkusi panggul
Intervensi:
a.       Pantau haluaran urine terhadap perubahan warna, baud an pola berkemih, masukan dan haluaran setiap 8 jam dan pantau hasil urinalisis ulang
Rasional: untuk mengidentifikasi indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan
b.      Catat lokasi, lamanya intensitas skala (1-10) penyebaran nyeri.
Rasional: membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan penyebab nyeri
c.       Berikan tindakan nyaman, seprti pijatan punggung, lingkungan istirahat;
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot.
d.      Bantu atau dorong penggunaan nafas berfokus
Relaksasi: membantu mengarahkan kembali perhatian dan untuk relaksasi otot.
e.       Berikan perawatan perineal
Rasional: untuk mencegah kontaminasi uretra
f.        Jika dipaang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2 nkali per hari.
Rasional: Kateter memberikan jalan bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.
g.       Kolaborasi:
-        Konsul dokter bila: sebelumnya kuning gading-urine kuning, jingga gelap, berkabut atau keruh. Pla berkemih berubah, sring berkemih dengan jumlah sedikit, perasaan ingin kencing, menetes setelah berkemih. Nyeri menetap atau bertambah sakit
Rasional: Temuan- temuan ini dapat memeberi tanda kerusakan jaringan lanjut dan perlu pemeriksaan luas
-        Berikan analgesic sesuia kebutuhan dan evaluasi keberhasilannya
Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga mengurangi nyeri
h.       Berikan antibiotic. Buat berbagai variasi sediaan minum, termasuk air segar . Pemberian air sampai 2400 ml/hari
Rasional: akibta dari haluaran urin memudahkan berkemih sering dan membentu membilas saluran berkemih

2.      Dx 2:
Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius  lain.
Kriteria Evaluasi:
Pola eliminasi membaik, tidak terjadi tanda-tanda gangguan berkemih (urgensi, oliguri, disuria)
Intervensi:
a.       Awasi pemasukan dan pengeluaran karakteristi urin
Rasional: memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi
b.      Tentukan pola berkemih pasien
c.       Dorong meningkatkan pemasukan cairan
Rasional: peningkatan hidrasi membilas bakteri.
d.      Kaji keluhan kandung kemih penuh
Rasional: retensi urin dapat terjadi menyebabkan distensi jaringan(kandung kemih/ginjal)
e.       Observasi perubahan status mental:, perilaku atau tingkat kesadaran
Rasional: akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat menjadi toksik pada susunan saraf pusat
f.        Kecuali dikontraindikasikan: ubah posisi pasien setiap dua jam
Rasional: untuk mencegah statis urin
g.       Kolaborasi:
-        Awasi pemeriksaan laboratorium; elektrolit, BUN, kreatinin
Rasional: pengawasan terhadap disfungsi ginjal
-        Lakukan tindakan untuk memelihara asam urin: tingkatkan masukan sari buah berri dan berikan obat-obat untuk meningkatkan aam urin.
Rasional: aam urin menghalangi tumbuhnya kuman. Peningkatan masukan sari buah dapt berpengaruh dalm pengobatan infeksi saluran kemih.         

3.      Dx 3:
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
Kriteria Evaluasi: menyatakna mengerti tentang kondisi, pemeriksaan diagnostic, rencana pengobatan, dan tindakan perawatan diri preventif.
Intervensi:
a.       Kaji ulang prose pemyakit dan harapan yang akan datanng
Rasional: memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan beradasarkan informasi.
b.      Berikan informasi tentang: sumber infeksi, tindakan untuk mencegah penyebaran, jelaskna pemberian antibiotic, pemeriksaan diagnostic: tujuan, gambaran singkat, persiapan ynag dibutuhkan sebelum pemeriksaan, perawatan sesudah pemeriksaan.
Rasional: pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan m,embantu mengembankan kepatuhan klien terhadap rencan terapetik.
c.        Pastikan pasien atau orang terdekat telah menulis perjanjian untuk perawatan lanjut dan instruksi tertulis untuk perawatn sesudah pemeriksaan
Rasional: instruksi verbal dapat dengan mudah dilupakan
d.      Instruksikan pasien untuk menggunakan obat  yang diberikan, inum sebanyak kurang lebih delapan gelas per hari khususnya sari buah berri.
Rasional: Pasien sering menghentikan obat mereka, jika tanda-tanda penyakit mereda. Cairan menolong membilas ginjal. Asam piruvat dari sari buah berri membantu mempertahankan keadaan asam urin dan mencegah pertumbuhan bakteri
e.       Berikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan dan masalah tentang rencana pengobatan.
Rasional: Untuk mendeteksi isyarat indikatif kemungkinan ketidakpatuhan dan membantu mengembangkan penerimaan rencana terapeutik.

   
 


DAFTAR PUSTAKA


Doenges, Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Alih Bahasa: I Made Kariasa, Ni made Sumarwati. Edisi: 3. Jakrta: EGC.

Enggram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan
Nugroho, Wahyudi. (2000). Keperawatan Gerontik. Edisi: 2. Jakarta: EGC.

Parsudi, Imam A. (1999). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: FKUI

Price, Sylvia Andrson. (1995). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit: pathophysiologi clinical concept of disease processes. Alih Bahasa: Peter Anugrah. Edisi: 4. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddart. Alih Bhasa: Agung Waluyo. Edisi: 8. Jakarta: EGC.

Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi Saluran Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI.


ASKEP EPILEPSI



ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN DENGAN EPILEPSI

 

 A.               Pendahuluan


Epilepsi merupakan penyakit tertua di dunia (2000 th SM) (Petrus Tjahyadi dikutif dari Harsono,Ed : 1996). Di Indonesia kasus epilepsi secara pasti tidak diketahui karena tidak ada data epidemiologi, namum hingga saat ini diperkirakan ada 900.000 sampai 1.800.000 kasus (Petrus Tjahyadi dikutif dari Harsono,ED : 1996).Penyakit epilepsi selain merupakan masalah kesehatan yang sangat rumit juga merupakan suatu penyakit yang menimbulkan dampak / stigma sosial yang sangat berat bagi penderita dan keluarganya. Adanya pemahaman yang salah tentang penyakit epilepsi yang dipandang sebagai penyakit kutukan merupakan suatu hal yang menyebabkab sulitnya mendeteksi jumlah kasus ini di masyarakat karena biasanya keluarga sering menyembunyikan keluarganya yang menderita penyakit ini.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana meminimalisasikan  dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi.
Pada dasarnya epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang timbul akibat adanya ketidak seimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidak seimbangan polarisasi listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif pada neuron sehingga menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau seluruh daerah yang ada di dalam otak.
Masalah yang muncul adalah bagaimana hal tersebut bisa muncul, bagaimana manifestasinya dan bagaimana penanganan yang dapat dilakukan untuk kasus ini masih memerlukan kajian yang lebih mendalam.

B.      Deskripsi Penyakit

Epilepsi terjadi akibat adanya kerusakan membran pada sel glia otak. Sel glia merupakan bagian dari sel otak yang multi fungsi. Salah satu fungsi penting dari sel glia bila dikaitkan dengan penyakit epilepsi ini adalah fungsi sel glia sebagai pensuplai nutrisi dan reservoar dari elektrolit seperti ion K, Ca dan Na. Ketidak seimbangan pada sel ini akan menyebabkan permasalahan pada sel syaraf. Proses epileptogenik akan terjadi bila ada pelepasan muatan paroksiman karena mekanisme intrinsik dari membran neuron yang menjaga kestabilan ambang lepas muatan terganggu sehingga bisa terjadi depolarisasi secara terus menerus yang selanjutnya menyebabkan timbulnya letupan potensial aksi (paroksismal depolarisasi shif).
Penyebab dan proses secara jelas terjadinya epileptogenik hingga saat ini belum begitu jelas. Namun sebagian besar dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti adanya trauma kelahiran, infeksi, gangguan sirkulasi, gangguan metabolisme, tumor otak, trauma kepala dan penyakit-penyakit saat kehamilan (epilepsi simtomatis). Namun beberapa jenis epilepsi tidak diketahui dengan jelas penyebabnya dan diduga karena faktor genetik (epilepsi idiopatik).
1.                  Kejang umum :
Kejang yang menunjukkan sinkronisasi keterlibatan semua bagian otak pada kedua hemisfer. Otak teraktivasi secara bersama tanpa awitan fokal, sinkron, tanpa didahului oleh prodormal dan aura. Yangdigolongkan dalam jenis ini adalah petit mall, grand mall, mioklonik dan atonik.
a.         Petit mall : muncul setelah usia 4 tahun, pasien kehilangan kesadaran sesaat seperti bengong tanpa disertai gerakan involunter yang aneh. Bila hal ini berlangsung terus dapat berakibat buruk pada alur belajar terutama anak-anak yang sedang belajar. Anak akan menjadi malu sehingga anak akan mengalami gangguan dalam prestasi belajar.
b.                  Grand mall / kejang tonik-klonik : yakni adanya serangan kejang ekstensi tonik-klonik bilateral ekstremitas. Kadang disertai dengan adanya inkontinensia urine atau feces, menggigit lidah, mulut berbusa dan kehilangan kesadaran yang mendadak yang diikuti gejala-gejala post iktal seperti nyeri otot, lemah dan letih, bingung serta tidur dalam waktu lama.

2.                  Kejang parsial
Kejang yang didahului dengan adanya  awitan fokal yang melibatkan satu bagian tertentu dari otak.
a.                          Kejang parsial sederhana : sering disebut epilepsi Jakson, dimana pada kelompok ini akan terjadi kejang secara involunter yang bersifat unilateral tanpa diikuti oleh adanya perburukan.
b.                          Kejang parsial kompleks : sering disebut dengan kejang lobus temporal, psikomotor atau otomatisme yang fokalnya sering berpusat pada lobus temporalis. Sering pada kejang parsial sering diikuti oleh gangguan kesadaran semacam gangguan proses pikir. Gejala dapat berupa halusinasi, mual dan berkeringat sebagai prodormal. Pasien yang sedang mengalami serangan ini sering menunjukkan perilaku bersifat agitatif dan kombatif.
Bila dikaitkan dengan kelompok usia yang terpapar, epilepsi dapat digolongkan menjadi beberapa jenis (Harsono.ED.1996) :
1.                  Kelompok Usia 0 – 6 bulan
a.                  Kelainan intra uterin, yang menyebabkan gangguan migrasi dan diferensiasi sel neuron. Hal ini juga bisa dipengaruhi oleh infeksi intra uterin.
b.                  Kelainan selama kehamilan misal asfeksia, dan perdarahan intra uterin yang didahului oleh kelainan maternal seperti : hipotensi, eklamsia, disproporsi sefalopelvik, kelainan plasenta, tali pusat menumbung atau belitan tali pusat pada leher.
c.                  Kelainan kongenital seperti kromosom abnormal, radiasi obat teratogenik, infeksi intra partum oleh toksoplasma, sitomegalo virus, rubela dan treponema.
d.                  Gangguan metabolik seperti hipoglikemi, hipokalsemi, hiponatremia, dan defisiensi piridoksin.
e.                  Infeksi Susunan Saraf Pusat seperti meningitis, ensefalitis, dan hidrosefalus pasca infeksi.

2.                  Kelompok 6 bulan – 3 tahun
Selain oleh penyebab yang sama dari kelompok di atas pada umur ini dapatjuga disebabkan oleh adanya kejang demam yang biasanya dimulai pada umur 6 bulan. Faktor lain yang mempengaruhi adalah adanya cedera kepala.
3.                  Kelompok anak-anak sampai remaja
Dapat disebabkan oleh Infeksi virus, bakteri, parasit dan abses otak yang frekuensinya meningkat sampai 23%, setelah tindakan operasi.
4.                  Kelompok usia muda
            . Tersering karena cedera kepala, tumor otak    dan infeksi.
5.                  Kelompok usia lanjur
Karena gangguan pembuluh darah otak, diikuti oleh trauma dan degenerasi cerebral.
Jika terjadi serentetan serangan epilepsi jenis grand mall tanpa diselingi dengan pemulihan status neurologi disebut dengan status epileptikus. Yang dijadikan patokan adalah kejang secara klinis atau pada EEG tampak adanya gambaran eksitasi abnormal selama 30 menit atau lebih. Hal ini akan berbahaya jika diikuti oleh adanya hipoksia jaringan otak, gagal pernafasan, hipertensi, peningkatan tekanan intra kranial. Keadaan ini membutuhkan perawatan yang intensif. Penurunan kesadaran dapat berakibat terjadinya ancaman berupa sumbatan jalan nafas. Kejadian yang terjadi secara terus menerus dapat menimbulkan dampak yang sangat buruk terhadap perkembangan psiko-sosial dari klien maupun keluarganya, berupa rasa malu, harga diri yang rendah serta penurunan terhadap gambaran diri. Hal ini akan menyebabkan efek samping pada penurunan prestasi belajar terutama bagi penderita yang masih dalam masa belajar.

C.                    Pengkajian
                               Pengkajian dilakukan secara komprehensif dengan berbagai metode pengkajian seperti anamnesa, observasi, pengukuran, dokumentasi dan pemeriksaan fisik. Metode pengkajian yang digunakan untuk mengoptimalkan hasil yang diperoleh meliputi beberapa cara diantaranya head to toe, teknik persistem, maupun berdasarkan atas kebutuhan dasar manusia.
1.                  Identitas klien dan penanggungjawab
Pengkajian yang dilakukan meliputi identitas klien dan penanggungjawabnya.

2.                  Keluhan Utama
Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien / keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat. Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering berhenti mendadak bila diajak bicara
.
3.                  Riwayat Penyakit
Fokus pengkajian yang dilakukan adalah pada riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik. Ini dapat dimengerti karena riwayat kesehatan terutama berhubungan dengan kejang sangat membantu dalam menentukan diagnosa. Riwayat ini akan dirunjang dengan keadaan fisik klien saat ini. Pemeriksaan neurologi terutama berkaitan dengan serangan kejang harus lengkap karena temuan-temuan fokal sangat membantu dalam menentukan asal dari aktivitas kejang. Pada riwayat perlu dikaji faktor pencetus yang dapat diidentifikasikan hingga saat ini adalah : demam, cedera kepala, stroke, gangguan tidur, penggunaan obat, kelemahan fisik, hiperventilasi, dan stress emosional.
Deskripsispesifik dari kejang harus mencakup beberapa data penting meliputi :
a.      Awitan yakni serangan itu mendadak atau didahului oleh prodormal dan fase aura.
b.      Durasi kejang berapa lama dan berapa kali frekuensinya.
c.      Aktivitas motorik mencakup apakah ekstrimitas yang terkena sesisi atau bilateral, dimana mulainya dan bagaimana kemajuannya.
d.      Status kesadaran dan nilai kesadarannya. Apakah klien dapat dibangunkan selama atau setelah serangan ?
e.      Distrakbilitas, apakah klien dapat memberi respon terhadap lingkungan. Hal ini sangat penting untuk membedakan apakah yang terjadi pada klien benar epilepsi atau hanya reaksi konversi.
f.        Keadaan gigi. Apakah pada saat serangan gigi klien tertutup rapat atau terbuka.
g.      Aktivitas tubuh seperti inkontinensia, muntah, salivasi dan perdarahan dari mulut.
h.      Masalah yang dialami setelah serangan paralisis, kelemahan, baal atau semutan, disfagia, disfasia cedera komplikasi, periode post iktal atau lupa terhadap semua pristiwa yang baru saja terjadi.
i.        Faktor pencetus seperti stress emosional dan fisik.

4.                  Data Bio-psiko-sosial-spiritual
Data yang sudah dikaji sebelumnya dengan menggunakan berbagai metode yang valid selanjutnya dikelompokkan secara umum menjadi data subyektif dan obyektif.
a.                   Data Subyektif : adanya keluhan tentang faktor pencetus, prodormal(pusing, lemas, ngantuk, halusinasi dll). Merasakan adanya seperti tersambar petir (fase aural), mengeluh adanya gangguan proses pikir, waham, badan nyeri, letih dan bingung. Klien merasa malu, tidak berguna, rendah diri dan takut.
b.                  Data Obyektif : adanya gerakan tonik, klonik, tonik-klonik, hilang kesadaran sesaat, hilang kesadaran beberapa lama, bibir berbusa, sering diam beberapa saat bila sedang diajak bicara, gerakan ekstrimitas terkedut bilateral, pasien terjatuh, kontraksi involunter unilateral, kejang biasanya mulai dari tempat yang sama setiap serangan, agresif, pupil mengalami perubahan ukuran selama serangan, inkontinensia, perdarahan dari mulut, penurunan respon terhadap lingkungan, kejang terjadi beberapa detik hingga beberapa menit. Gambaran EEG berupa gelombang spike, spike and slow wave, poly spike and wave, 3 Hz spike and wave. MRI / CT SCAN bisa tampak adanya massa di lobus otak.Perubahan yang bermakna tidak spesifik pada tanda-tanda vital. Dapat terjadi perubahan tidak spesifik pada    hasil laboratorium (Glukosa darah,        BUN, Elektrolit, Pa O2, Pa CO2 termasuk hasil fungsi lumbal).

5.                  Rencana Asuhan Keperawatan
a.        Diagnosa Keperawatan
       Rencana Keperawatan diawali dengan penyusunan diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan yang biasa muncul pada pasien yang mengalami epilepsi adalah
1)        Potensial kecelakaan s.d. penurunan kesadaran, kelemahan fisik, gerak otot
       tonik klonik.
2)        Potensial terjadi sumbatan jalan nafas s.d. obstruksi tracheo bronkhial,
       gangguan persepsi dan neuro muskuler.
3)        Gangguan konsep diri s.d. stigma sosial, salah persepsi dari lingkungan sosial.
4)        Gangguan mekanisme koping s.d. terdiagnose epilepsi dan keterikatan dengan obat.
5)        Kurangnya pengetahuan tentang penyakit dan pengobatannya s.d. kurang
        terbuka, mis interpretasi dan kurang interpretasi.

b.        Rencana Keperawatan
a.  Potensial kecelakaan sehubungandengan penurunan kesadaran,      
    kelemahan  fisik, gerak otot tonik klonik.
b. Potensial terjadi sumbatan jalan nafas sehubungan dengan       obstruksi
    tracheo  bronkhial, gangguan persepsi dan neuro muskuler.
c.    Gangguan konsep diri sehubungan dengan stigma sosial, salah persepsi
    dari lingkungan sosial.
d.    Gangguan mekanisme koping (koping tidak efektif) sehubungan
    dengan terdiagnose epilepsi dan keterikatan dengan obat.
e.. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit (epilepsi) dan
    pengobatannya  sehubungan dengan  mis interpretasi dan kurang informasi.
6.                  Rencana tindakan
NO
Diagnosa
Tujuan
Implementasi
1.
Dx  1
Serangan dapat dikendalikan dan komplikasi dapat dihindari
1. Cegah dan kendalikan kejang
2. Hindarkan lingkungan agar aman dari kemungkinan yang dapat menimbulkan cedera bagi klien
3. Siapkan spatel lidah di dekat klien
4. Hindarkan klien sendirian
5. Usahakan agar tempat tidur klien
    serendah mungkin
6.   Jangan pernah mengikat klien dengan
Alasan apapun
7.   Jangan memasukkan benda apapun kemulut klien
    saat terjadi serangan
8. Pasang gudel saat serangan berkurang
9. Miringkan klien pada salah satu sisi
10. Obserpasi adanya tanda-tanda status epileptikus
11. Upayakan agar klien mampu mengenali
      faktor  pencetus
      dan tanda-tanda serangan
12. Lakukan tindakan kolaborasi :
a. Pemberian obat anti konvulsan
b.    Siapkan klien untuk EEG, pengambilan bahan lab elektrolit, cairan cerebro spinal, darah lengkap, BUN, Creatinin, Glukosa darah, PO2 dan PCO2.
13. Observasi fase-fase kejang
14. Analisa ambulasi klien

2
Dx. 2
Jalan nafas tetap paten
1.   Anjurkan agar klien mengosongkan mulut jika fase aura dapat dikenali
2.   Buat klien dalam posisi miring pada salah satu sisi untuk menghindari adanya aspirasi
3.      Mengupayakan jalan nafas tetap paten
4.      Memberikan oksigen sesuai dengan indikasi
5.   Lakukan penghisapan lendir dengan cara yang benar
6.      Siapkan klien untuk pemasangan intubasi dan ambu bag.
7.                  Selalu ingatkan untuk menjaga kebersihan mulut
   Untuk mencegah aspirasi

3
Dx. 3 dan 4
Mampu menampilkan konsep diri yang positif
1.Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan
2.Ajarkan klien dan keluarga untuk mengidentifikasi beberapa reaksi orang terhadap pasien
3.                  Anjurkan dan ingatkan untuk mengidentifikasikan                                               keberhasilan yang telah diperoleh
4.                  Jangan terlalu melakukan proteksi terhadap klien
5.Bantulah klien untuk meluruskan kesan orang lain terhadap klien dan kesan klien terhadap orang lain
6.Selalu bersikap tenang baik itu pasien, pemberi pelayanan atau keluarga saat terjadi serangan kejang
7.Anjurkan untuk berkonsultasi dengan spesialis tertentu seperti psikolog
8.Diskusikan pentingnya untuk berusaha menerima keterbatasan yang ada.
9.Mampu menyesuaikan pola hidup sesuai dengan keadaan klien

4
Dx. 5
Mampu menjelaskan mengenai proses peny., prognosa, kemungkinan komplikasi dan keterbatasan diri yang dimiliki dan melaksanakan program pengobatan serta follow up secara tepat dan teratur
1.Menjelaskan kembali proses penyakit serta prognosanya.
2.Menjelaskan kembali tentang pentingnya obat serta mengobservasi efek dari obat tersebut.
3.Buatkan petunjuk yang jelas dalam pemberian obat, dan selalu diingatkan bahwa dosis terapeutik saat ini dapat berubah suatu saat.
4.Diskusikan efek samping dari obat.
5.Anjurkan agar klien membawa tanda khusus.
6.Jelaskan pentingnya follow up.






7.      Evaluasi
Evaluasi merupakan bagian akhir dari proses keperawatan. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan tindakan yang telah dilakukan. Disamping itu evaluasi dapat dijadikan sebagai bahan pengkajian untuk proses berikutnya.
Pada kasus epilepsi evaluasi dilakukan atas tindakan yang dilakukan sesuai dengan diagnosa dan tujuan yang sudah ditetapkan.
1.      Frekuensi dan faktor pencetus serangan dapat diidentifikasi, lingkungan aman, klien tahu berperilaku untuk mencegah trauma jika muncul serangan, keluarga tidak meninggalkan klien sendiri terutama saat faktor pencetus paparannya meningkat.
2.      Klien dapat mengambil posisi yang stabil, tidak menelan sesuatu, jika fase aura mulai muncul, kebutuhan O2 klien dapat terpenuhi terutama pada saat serangan.
3.      Klien mampu menampakkan kesan diri yang positif, keluarga aktif memberikan dukungan dukungan kepada klien.
4.      Klien mampu menjelaskan tentang penyakit, penanganan, prognose, serta waktu pengobatan. Klien mengerti dan mau melakukan follow up secara teratur. Klien dapat menyesuaikan pola hidupnya sesuai dengan keadaannya
DAFTAR PUSTAKA

Dongoes M. E. et all, 1989, Nursing Care Plans, Guidelines for Planning Patient Care, Second Ed, F. A. Davis, Philadelpia.

Harsono (ED), 1996, Kapita Selekta Neurologi , Second Ed, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Hudac. M. C. R and Gallo B. M, 1997, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik (Terjemahan), Edisi VI, EGC, Jakarta Indonesia.

Kariasa Made, 1997, Asuhan Keperawatan Klien Epilepsi, FIK-UI, Jakarta.

Luckman and Sorensen S, 1993, Medikal Surgical Nursing  Psychology Approach, Fourt Ed, Philadelpia London.

Price S. A and Wilson L. M, 1982, Pathofisiology, Clinical Concepts of Desease Process, Second Ed, St Louis, New York.