SELAMAT DATANG DI BLOG ASUHAN KEPERAWATAN SEMOGA BERMANFAATKADEK WAHYU ADI PUTRAASUHAN KEPERAWATAN GRATIS

Tuesday 26 October 2010

ASKEP OTITIS MEDIA


OTITIS MEDIA AKUT
A.     Pengertian Otitis Media Akut
      Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah.
Yang paling sering terlihat ialah :
1.   Otitis media viral akut
2.   Otitis media bakterial akut
3.   Otitis media nekrotik akut
B.    Etiologi
      Penyebabnya adalah bakteri piogenik seperti streptococcus haemolyticus, staphylococcus aureus, pneumococcus , haemophylus influenza, escherecia coli, streptococcus anhaemolyticus, proteus vulgaris, pseudomonas aerugenosa.
C.    Patofisiologi
      Umumnya otitis media dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah, kecuali pada kasus yang relatif jarang, yang mendapatkan infeksi bakteri yang membocorkan membran timpani. Stadium awal komplikasi ini dimulai dengan hiperemi dan edema pada mukosa tuba eusthacius bagian faring, yang kemudian lumennya dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.
Gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan eksudat dan transudat dalam telinga tengah, akibatnya telinga tengah menjadi sangat rentan terhadap infeksi bakteri yang datang langsung dari nasofaring. Selanjutnya faktor ketahanan tubuh pejamu dan virulensi bakteri akan menentukan progresivitas penyakit.
D.    Manifestasi Klinik
Gejala otitis media dapat bervariasi menurut beratnya infeksi dan bisa sangat ringan dan sementara atau sangat berat. Keadaan ini biasanya unilateral pada orang dewasa.

· Membrane tymphani merah, sering menggelembung tanpa tonjolan tulang yang dapat dilihat, tidak bergerak pada otoskopi pneumatic ( pemberian tekanan positif atau negative pada telinga tengah dengan insulator balon yang dikaitkan ke otoskop ), dapat mengalami perforasi.

· Otorrhea, bila terjadi rupture membrane tymphani

· Keluhan nyeri telinga ( otalgia )

· Demam

· Anoreksia

· Limfadenopati servikal anterior
E.     Penanganan
Antibiotik
  1. OMA umumnya adalah penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya.
  2. Sekitar 80% OMA sembuh dalam 3 hari tanpa antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak mengurangi komplikasi yang dapat terjadi, termasuk berkurangnya pendengaran.
  3. Observasi dapat dilakukan pada sebagian besar kasus. Jika gejala tidak membaik dalam 48-72 jam atau ada perburukan gejala, antibiotik diberikan.4,6 American Academy of Pediatrics (AAP) mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut:
Usia
Diagnosis pasti
Diagnosis meragukan

< 6 bln
Antibiotik
Antibiotik
6 bln – 2 th
Antibiotik
Antibiotik jika gejala berat; observasi jika gejala ringan
 2 thn
Antibiotik jika gejala berat; observasi jika gejala ringan
Observasi

Yang dimaksud dengan gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam <39°C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang – berat atau demam 39°C.
Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan – dua tahun dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Untuk dapat memilih observasi, follow-up harus dipastikan dapat terlaksana. Analgesia tetap diberikan pada masa observasi.
British Medical Journal memberikan kriteria yang sedikit berbeda untuk menerapkan observasi ini.10 Menurut BMJ, pilihan observasi dapat dilakukan terutama pada anak tanpa gejala umum seperti demam dan muntah.
Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, pilihan pertama untuk sebagian besar anak adalah amoxicillin.
  • Sumber seperti AAFP (American Academy of Family Physician) menganjurkan pemberian 40 mg/kg berat badan/hari pada anak dengan risiko rendah dan 80 mg/kg berat badan/hari untuk anak dengan risiko tinggi.
  • Risiko tinggi yang dimaksud antara lain adalah usia kurang dari dua tahun, dirawat sehari-hari di daycare, dan ada riwayat pemberian antibiotik dalam tiga bulan terakhir.
  • WHO menganjurkan 15 mg/kg berat badan/pemberian dengan maksimumnya 500 mg.
  • AAP menganjurkan dosis 80-90 mg/kg berat badan/hari.6 Dosis ini terkait dengan meningkatnya persentase bakteri yang tidak dapat diatasi dengan dosis standar di Amerika Serikat. Sampai saat ini di Indonesia tidak ada data yang mengemukakan hal serupa, sehingga pilihan yang bijak adalah menggunakan dosis 40 mg/kg/hari. Dokumentasi adanya bakteri yang resisten terhadap dosis standar harus didasari hasil kultur dan tes resistensi terhadap antibiotik.
  • Antibiotik pada OMA akan menghasilkan perbaikan gejala dalam 48-72 jam.
  • Dalam 24 jam pertama terjadi stabilisasi, sedang dalam 24 jam kedua mulai terjadi perbaikan. Jika pasien tidak membaik dalam 48-72 jam, kemungkinan ada penyakit lain atau pengobatan yang diberikan tidak memadai. Dalam kasus seperti ini dipertimbangkan pemberian antibiotik lini kedua. Misalnya:
  • Pada pasien dengan gejala berat atau OMA yang kemungkinan disebabkan Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, antibiotik yang kemudian dipilih adalah amoxicillin-clavulanate.6 Sumber lain menyatakan pemberian amoxicillin-clavulanate dilakukan jika gejala tidak membaik dalam tujuh hari atau kembali muncul dalam 14 hari.4
  • Jika pasien alergi ringan terhadap amoxicillin, dapat diberikan cephalosporin seperti cefdinir, cefpodoxime, atau cefuroxime.
  • Pada alergi berat terhadap amoxicillin, yang diberikan adalah azithromycin atau clarithromycin
  • Pilihan lainnya adalah erythromycin-sulfisoxazole atau sulfamethoxazole-trimethoprim.
  • Namun kedua kombinasi ini bukan pilihan pada OMA yang tidak membaik dengan amoxicillin.
  • Jika pemberian amoxicillin-clavulanate juga tidak memberikan hasil, pilihan yang diambil adalah ceftriaxone selama tiga hari.
  • Perlu diperhatikan bahwa cephalosporin yang digunakan pada OMA umumnya merupakan generasi kedua atau generasi ketiga dengan spektrum luas. Demikian juga azythromycin atau clarythromycin. Antibiotik dengan spektrum luas, walaupun dapat membunuh lebih banyak jenis bakteri, memiliki risiko yang lebih besar. Bakteri normal di tubuh akan dapat terbunuh sehingga keseimbangan flora di tubuh terganggu. Selain itu risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik akan lebih besar. Karenanya, pilihan ini hanya digunakan pada kasus-kasus dengan indikasi jelas penggunaan antibiotik lini kedua.  
  • Pemberian antibiotik pada otitis media dilakukan selama sepuluh hari pada anak berusia di bawah dua tahun atau anak dengan gejala berat.
  • Pada usia enam tahun ke atas, pemberian antibiotik cukup 5-7 hari. Di Inggris, anjuran pemberian antibiotik adalah 3-7 hari atau lima hari.
  • Tidak adanya perbedaan bermakna antara pemberian antibiotik dalam jangka waktu kurang dari tujuh hari dibandingkan dengan pemberian lebih dari tujuh hari. Dan karena itu pemberian antibiotik selama lima hari dianggap cukup pada otitis media. Pemberian antibiotik dalam waktu yang lebih lama meningkatkan risiko efek samping dan resistensi bakteri.
Analgesia/pereda nyeri
  • Penanganan OMA selayaknya disertai penghilang nyeri (analgesia).
  • Analgesia yang umumnya digunakan adalah analgesia sederhana seperti paracetamol atau ibuprofen.
  • Namun perlu diperhatikan bahwa pada penggunaan ibuprofen, harus dipastikan bahwa anak tidak mengalami gangguan pencernaan seperti muntah atau diare karena ibuprofen dapat memperparah iritasi saluran cerna.  
Obat lain
  • Pemberian obat-obatan lain seperti antihistamin (antialergi) atau dekongestan tidak memberikan manfaat bagi anak.
  • Pemberian kortikosteroid juga tidak dianjurkan.
  • Myringotomy (myringotomy: melubangi gendang telinga untuk mengeluarkan cairan yang menumpuk di belakangnya) juga hanya dilakukan pada kasus-kasus khusus di mana terjadi gejala yang sangat berat atau ada komplikasi.
  • Cairan yang keluar harus dikultur.
  • Pemberian antibiotik sebagai profilaksis untuk mencegah berulangnya OMA tidak memiliki bukti yang cukup.4
Pencegahan
Beberapa hal yang tampaknya dapat mengurangi risiko OMA adalah:
  • pencegahan ISPA pada bayi dan anak-anak,
  • pemberian ASI minimal selama 6 bulan,
  • penghindaran pemberian susu di botol saat anak berbaring,
  • dan penghindaran pajanan terhadap asap rokok.
  • Berenang kemungkinan besar tidak meningkatkan risiko OMA.

F.     Komplikasi
  • Otitis media kronik ditandai dengan riwayat keluarnya cairan secara kronik dari satu atau dua telinga.
  • Jika gendang telinga telah pecah lebih dari 2 minggu, risiko infeksi menjadi sangat umum.
  • Umumnya penanganan yang dilakukan adalah mencuci telinga dan mengeringkannya selama beberapa minggu hingga cairan tidak lagi keluar.
  • Otitis media yang tidak diobati dapat menyebar ke jaringan sekitar telinga tengah, termasuk otak. Namun komplikasi ini umumnya jarang terjadi.
  • Salah satunya adalah mastoiditis pada 1 dari 1000 anak dengan OMA yangtidak diobati.
  • Otitis media yang tidak diatasi juga dapat menyebabkan kehilangan pendengaran permanen.
  • Cairan di telinga tengah dan otitis media kronik dapat mengurangi pendengaran anak serta menyebabkan masalah dalam kemampuan bicara dan bahasa.
  • Otitis media dengan efusi didiagnosis jika cairan bertahan dalam telinga tengah selama 3 bulan atau lebih.
Komplikasi yang serius adalah:
·  Infeksi pada tulang di sekitar telinga tengah (mastoiditis atau petrositis)
·  Labirintitis (infeksi pada kanalis semisirkuler)
·  Kelumpuhan pada wajah
·  Tuli
·  Peradangan pada selaput otak (meningitis)
·  Abses otak.Tanda-tanda terjadinya komplikasi:
Ø       sakit kepala
Ø       tuli yang terjadi secara mendadak
Ø       vertigo (perasaan berputar)
Ø       demam dan menggigil.

G.    Pemeriksaan Penunjang
1.    Otoskop pneumatik untuk melihat membran timpani yang penuh, bengkak dan tidak tembus cahaya dengan kerusakan mogilitas.
2.    Kultur cairan melalui mambran timpani yang pecah untuk mengetahui organisme penyebab.
H.    Asuhan Keperawatan
1.    Pengkajian
Data yang muncul saat pengkajian:
a.      Sakit telinga/nyeri
Penurunan/tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga
b.      Tinitus
c.      Perasaan penuh pada telinga
d.      Suara bergema dari suara sendiri
e.      Bunyi “letupan” sewaktu menguap atau menelan
f.        Vertigo, pusing, gatal pada telinga
g.      Penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga
h.      Penggunanaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin)
i.        Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40o C), demam
j.          Kemampuan membaca bibir atau memakai bahasa isyarat
k.      Reflek kejut
l.         Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras
m.    Tipe warna 2 jumlah cairan
n.      Cairan telinga; hitam, kemerahan, jernih, kuning
o.       Alergi
p.      Dengan otoskop tuba eustacius bengkak, merah, suram
q.      Adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas, infeksi telinga sebelumnya, alergi

2.       Intervensi
1)     Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada telinga
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Intervensi:
a.      Beri posisi nyaman ; dengan posisi nyaman dapat mengurangi nyeri
b.      Kompres panas di telinga bagian luar ; untuk mengurangi nyeri.
c.      Kompres dingin ; untuk mengurangi tekanan telinga (edema)
d.      Kolaborasi pemberian analgetik dan antibiotik
Evaluasi: nyeri hilang atau berkurang.

2)     Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pengobatan
Tujuan : tidak terjadi tanda-tanda infeksi
Intervensi:
a.      Kaji tanda-tanda perluasan infeksi, mastoiditis, vertigo ; untuk mengantisipasi perluasan lebih lanjut.
b.      Jaga kebersihan pada daerah liang telinga ; untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme
c.      Hindari mengeluarkan ingus dengan paksa/terlalu keras (sisi) ; untuk menghindari transfer organisme dari tuba eustacius ke telinga tengah.
d.      Kolaborasi pemberian antibiotik
Evaluasi: infeksi tidak terjadi.

3)     Resiko tinggi injury berhubungan dengan penurunan persepsi sensori
Tujuan : tidak terjadi injury atau perlukaan
Intervensi:
a.      Pegangi anak atau dudukkan anak di pangkuan saat makan ; meminimalkan anak agar tidak jatuh
b.      Pasang restraint pada sisi tempat tidur ; meminimalkan agar anak tidak jatuh.
c.      Jaga anak saat beraktivitas ; meminimalkan agar anak tidak jatuh
d.      Tempatkan perabot teratur ; meminimalkan agar anak tidak terluka
Evaluasi : anak terhindar dari injury/perlukaan


















OTITIS MEDIA KRONIK
      I.            Pengertian
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid.
Gangguan telinga yang paling sering adalah infeksi eksterna dan media. Sering terjadi pada anak-anak dan juga pada orang dewasa (Soepardi, 1998).
Otitis media kronik adalah keradangan kronik yang mengenai mukosa dan struktur tulang di dalam kavum timpani.
    II.            Penyebab / Etiologi
a.      Streptococcus.
b.      Stapilococcus.
c.      Diplococcus pneumonie.
d.      Hemopilus influens.
e.      Gram Positif : S. Pyogenes, S. Albus.
f.     Gram Negatif : Proteus spp, Psedomonas spp, E. Coli.
g.      Kuman anaerob : Alergi, diabetes melitus, TBC paru.
  III.            Patofisiologi
Pada gangguan ini biasanya terjadi disfungsi tuba eustachii seperti obstruksi yang diakibatkan oleh infeksi saluran nafas atas, sehingga timbul tekanan negative di telinga tengah. Sebaliknya, terdapat gangguan drainase cairan telinga tengah dan kemungkinan refluks sekresi esophagus ke daerah ini yang secara normal bersifat steril. Cara masuk bakteri pada kebanyakan pasien kemungkinan melalui tuba eustachii akibat kontaminasi secret dalam nasofaring. Bakteri juga dapat masuk telinga tengah bila ada perforasi membran tymphani. Eksudat purulen biasanya ada dalam telinga tengah dan mengakibatkan kehilangan pendengaran konduktif.
IV.            Manifestasi Klinik
Gejala dapat minimal, dengan berbagai derajat kehilangan pendengaran dan terdapat otorrhea intermitten atau persisten yang berbau busuk. Biasanya tidak ada nyeri kecuali pada kasus mastoiditis akut, dimana daerah post aurikuler menjadi nyeri tekan dan bahkan merah dan edema. Kolesteatoma, sendiri biasanya tidak menyebabkan nyeri. Evaluasi otoskopik membrane timpani memperlihatkan adanya perforasi, dan kolesteatoma dapat terlihat sebagai masa putih di belakang membrane timpani atau keluar ke kanalis eksterna melalui lubang perforasi. Kolesteatoma dapat juga tidak terlihat pada pemeriksaan oleh ahli otoskopi. Hasil audiometric pada kasus kolesteatoma sering memperlihatkan kehilangan pendengaran konduktif atau campuran.
  V.            Diagnosis
1.    Anamnesis
·        Otorea terus menerus / kumat – kumatan lebih dari 6 – 8 minggu
·        Pendengaran menurun (Tuli).
2.    Pemeriksaan
a.      Tipe tubotimpanal (Hipertrofi, benigna).
·        Perforasi sentral
·        Mukosa menebal
·        Audiogram: Tuli konduktif dengan “air bone gab” sebesar kl 30 dB
·        X – foto mastoid : Sklerotik.
b.      Tipe degeneratif
·        Perforasi sentral besar
·        Granulasi atau polip pada mukosa kavum timpani
·        Audiogram : tuli konduktif/campuran dengan penurunan 50 – 60 dB
·        X-foto mastoid : sklerotik.
c.      Tipe metaplastik (atikoantral, maligna).
·        Perforasi atik atau marginal
·        Terdapat kolesteatom
·        Desttruksi tulang pada margotimpani
·        Audiogram : tuli konduktif / campuran dengan penurunan 60 dB atau lebih.
·        X- foto mastoid : sklerotik/rongga.
d.      Tipe campuran (degeneratif, metaplastik).
·        Perforasi marginal besar atau total
·        Granulasi dan kolesteatom
·        Audiogram : tuli konuktif / campuran dengan penurunan 60 dB atau lebih
·        X- foto mastoid : sklerotik / rongga.
3.    Pemeriksaan tambahan : Pembuatan audiogram dan X- foto mastoid (seperti diatas).
VI.            Penyulitan
1.    Abses retro airkula
2.    Paresis atau paralisis syaraf fasialis
3.    Komplikasi intrakranial :
ü    Meningitis
ü    Abses ekstradural
ü    Abses otak
VII.            Terapi
1.      Tipe tubetimpanal stadium aktif:
·     Anti biotik : Ampisilin / Amoksilin, (3-4 X 500 mg oral) atau klidomisin (3 X 150 – 300 mg oral) Per hari selama 5 –7 hari
·     Pengobatan sumber infeksi di rongga hidung dan sekitarnya
·     Perawatan lokal dengan perhidoral 3% dan tetes telinga (Klora menikol 1- 2%)
·     Pengobatan alergi bila ada latar belakang alergi
Pada stadium tenang (kering) di lakukan miringoplastik. ICOPIM (5. 194).
2.      Tipe degeneratif :
·     Atikoantrotomi
·     Timpanoplastik
3.      Tipe meta plastik / campuran
·     Mastoidektomi radikal
·     Mastoidektomi radikal dan rekonstruksi.
Untuk OMK dengan penyulit :
Abses retroaurikuler
1.      Insisi abses
2.      Antibiotik : Penisilin Prokain 2 X 0,6-1,2 juta IU i.m / hari dan metronidazol X 250 – 500mg oral / sup / hari.
3.      Mastoid dektomi radikal urgen.
Paresis atau paralisis syaraf fasialis
1.      Menentukan lokasi lesi :
·     Dengan test Scrimer  supra atau infra ganglion
·     Refleks stapedeus : Positif :  lesi di bawah N. Stapedeus
    Negatif :  lesi di atasnya
·      Tes pengecapan pada lidah :
Positif :  lesi di bawah korda timpani
Negatif :  lesi di atasnya
2.      Mastoidektomi urgen dan dekompresi saraf fasialis
3.      Rehabilitasi.
Labiringitis
1.      Tes fistel
2.      Mastoidektomi urgen.
Meningitis
1.      Perawatan bersama dengan bagian syaraf
2.      Antibiotik:
·      Ampicilin 6 x 2-3 g/ hari i.v di tambah
·      Kloranfenikol 4 x 1 G atau seftriakson 1 –2 g / hari i.v
3.      Bila meningitis sudah tenang segera di lakukan mastoidektomi radikal.
Absese ekstradural
1.      Antibiotik : Ampisilin 4-6 X 2-3 gram/hari i.v
2.      Ditambah metronodazol 3 X 500mg Sup / hari.
3.      Perawatan bersama dengan bagian bedah syaraf
4.      Drainase abses oleh bagian bedah syaraf
5.      Bila suadh tenang dilakukan matoiddektomi radikal

ASUHAN KEPERAWATAN
A.     PENGKAJIAN
Pengumpulan data
1.      Riwayat
a.      Identitas Pasien
b.      Riwayat adanya kelainan nyeri
c.      Riwayat infeksi saluran nafas atas yang berulang
d.      Riwayat alergi.
e.      OMA berkurang.
2.      Pengkajian Fisik
a.      Nyeri telinga
b.      Perasaan penuh dan penurunan pendengaran
c.      Suhu Meningkat
d.      Malaise
e.      Nausea Vomiting
f.        Vertigo
g.      Ortore
h.      Pemeriksaan dengan otoskop tentang stadium.
3.      Pengkajian Psikososial
a.      Nyeri otore berpengaruh pada interaksi
b.      Aktifitas terbatas
c.      Takut menghadapi tindakan pembedahan.
4.      Pemeriksaan Diagnostik
a.      Tes Audiometri : AC menurun
b.      X ray : terhadap kondisi patologi
Misal : Cholesteatoma, kekaburan mastoid.
5.      Pemeriksaan pendengaran
a.      Tes suara bisikan
b.      Tes garputala

B.    DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      Gangguan sensori / persepsi berhubungan dengan kerusakan pada telinga tengah
2.      Intoleransi aktifitas berhubungan dengan nyeri
3.      Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi
4.      Resiko tinggi trauma berhubungan dengan gangguan presepsi pendengaran
5.      Kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan pencegahan kekambuhan
C.    INTERVENSI KEPERAWATAN
*     Perubahan persepsi/sensoris berhubungan dnegan obstruksi, infeksi di telinga tengah atau kerusakan di saraf pendengaran.
Tujuan
Persepsi / sensoris baik.
Kriteria hasil
Klien akan mengalami peningkatan persepsi/sensoris pendengaran sampai pada tingkat fungsional.
Intervensi Keperawatan :
a.      Ajarkan klien untuk menggunakan dan merawat alat pendengaran secara tepat.
Rasional :
Keefektifan alat pendengaran tergantung pada tipe gangguan/ketulian, pemakaian serta perawatannya yang tepat.
b.      Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman sehingga dapat mencegah terjadinya ketulian lebih jauh.
Rasional :
Apabila penyebab pokok ketulian tidak progresif, maka pendengaran yang tersisa sensitif terhadap trauma dan infeksi sehingga harus dilindungi.
c.      Observasi tanda-tanda awal kehilangan pendengaran yang lanjut.
Rasional :
Diagnosa dini terhadap keadaan telinga atau terhadap masalah-masalah pendengaran rusak secara permanen.
d.      Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik yang diresepkan (baik itu antibiotik sistemik maupun lokal).
Rasional :
Penghentian terapi antibiotika sebelum waktunya dapat menyebabkan organisme sisa berkembang biak sehingga infeksi akan berlanjut.
*           Memberikan rasa nyaman
Tujuan :
Mengurangi rasa nyreri
Intervensi :
ü      Beri aspirin/analgesik sesuai instruki
ü      Kompres dingin di sekitar area telinga
ü      Atur posisi
ü      Beri sedatif sesuai indikasi

*     Cemas berhubuangan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri, hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.
Tujuan
Rasa cemas klien akan berkurang/hilang.
Kriteria hasil
Klien mampu mengungkapkan ketakutan/kekhawatirannya.
Intervensi Keperawatan :
a.      Mengatakan hal sejujurnya kepada klien ketika mendiskusikan mengenai kemungkinan kemajuan dari fungsi pendengarannya untuk mempertahankan harapan klien dalam berkomunikasi.
Rasional :
Harapan-harapan yang tidak realistik tiak dapat mengurangi kecemasan, justru malah menimbulkan ketidak percayaan klien terhadap perawat. Menunjukkan kepada klien bahwa dia dapat berkomunikasi dengan efektif tanpa menggunakan alat khusus, sehingga dapat mengurangi rasa cemasnya.
b.      Berikan informasi mengenai kelompok yang juga pernah mengalami gangguan seperti yang dialami klien untuk memberikan dukungan kepada klien.
Rasional :
Dukungan dari bebarapa orang yang memiliki pengalaman yang sama akan sangat membantu klien.
c.      Berikan informasi mengenai sumber-sumber dan alat-lat yang tersedia yang dapat membantu klien.
Rasional :
Agar klien menyadari sumber-sumber apa saja yang ada disekitarnya yang dapat mendukung dia untuk berkomunikasi.






OTITIS MEDIA SEROSA

A.     PENGERTIAN
Otitis media serosa / efusi adalah keadaan terdapatnya cairan di dalam telinga tengah tanpa adanya tanda dan gejala infeksi aktif. Secara teori, cairan ini sebagai akibat tekanan negative dalam telinga tengah yang disebabkan oleh obstruksi tuba eustachii. Pada penyakit ini, tidak ada agen penyebab definitive yang telah diidentifikasi, meskipun otitis media dengan efusi lebih banyak terdapat pada anak yang telah sembuh dari otitis media akut dan biasanya dikenal dengan “glue ear”. Bila terjadi pada orang dewasa, penyebab lain yang mendasari terjadinya disfungsi tuba eustachii harus dicari. Efusi telinga tengah sering terlihat pada pasien setelah mengalami radioterapi dan barotrauma ( eg : penyelam ) dan pada pasien dengan disfungsi tuba eustachii akibat infeksi atau alergi saluran napas atas yang terjadi.

B.    ETIOLOGI
Penyebab utama otitis media akut adalah masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah yang normalnya adalah steril. Paling sering terjadi bila terdapat disfungsi tuba eustachii seperti obstruksi yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, inflamasi jaringan disekitarnya (eg : sinusitis, hipertrofi adenoid) atau reaksi alergik ( eg : rhinitis alergika). Bakteri yang umum ditemukan sebagai organisme penyebab adalah Streptococcus peneumoniae, Hemophylus influenzae, Streptococcus pyogenes, dan Moraxella catarrhalis.

C.    PATOFISIOLOGI
Pada gangguan ini biasanya terjadi disfungsi tuba eustachii seperti obstruksi yang diakibatkan oleh infeksi saluran nafas atas, sehingga timbul tekanan negative di telinga tengah. Sebaliknya, terdapat gangguan drainase cairan telinga tengah dan kemungkinan refluks sekresi esophagus ke daerah ini yang secara normal bersifat steril. Cara masuk bakteri pada kebanyakan pasien kemungkinan melalui tuba eustachii akibat kontaminasi secret dalam nasofaring. Bakteri juga dapat masuk telinga tengah bila ada perforasi membran tymphani. Eksudat purulen biasanya ada dalam telinga tengah dan mengakibatkan kehilangan pendengaran konduktif.

D.    MANIFESTASI KLINIS
Pasien mungkin mengeluh kehilangan pendengaran, rasa penuh atau gatal dalam telinga atau perasaan bendungan, atau bahkan suara letup atau berderik, yang terjadi ketika tuba eustachii berusaha membuka. Membrane tymphani tampak kusam (warna kuning redup sampai abu-abu pada otoskopi pneumatik, dan dapat terlihat gelembung udara dalam telinga tengah. Audiogram biasanya menunjukkan adanya kehilangan pendengaran konduktif.
E.     PEMERIKSAAN DIASNOSTIK
  1. Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar
  2. Timpanogram untuk mengukur keseuaian dan kekakuan membrane timpani
  3. Kultur dan uji sensitifitas ; dilakukan bila dilakukan timpanosentesis (Aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membrane timpani).
F.     PENATALAKSANAAN MEDIS
Untuk otitis media serosa ( otitis media dengan efusi ), terapi yang umum dilakukan adalah menunggu. Keadaan ini umumnya sembuh sendiri dalam 2 bulan.
Untuk otitis media serosa yang persisten, dianjurkan untuk melakukan miringotomi. Miringotomi adalah prosedur bedah dengan memasukkan selang penyeimbang tekanan ke dalam membrane timpani. Hal ini memungkinkan ventilasi dari telinga tengah, mengurangi tekanan negative dan memungkinkan drainase cairan. Selang itu umumnya lepas sendiri setelah 6 sampai 12 bulan. Kemungkinan komplikasinya adala atrofi membrane timpani, timpanosklerosis (parut pada membrane timpani), perforasi kronik, dan kolesteatoma.












ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN OTITIS MEDIA
A.     Pengkajian
1.      Kaji adanya perilaku nyeri verbal dan non verbal
2.      Kaji adanya peningkatan suhu (indikasi adanya proses infeksi)
3.      Kaji adanya pembesaran kelenjar limfe di daerah leher
4.      Kaji status nutrisi dan keadekuatan asupan cairan berkalori
5.      Kaji kemungkinan tuli.
B.     Diagnosa Keperawatan
1.       Nyeri  Inflamasi pada jaringan telinga tengah
2.      Perubahan Sensori – Persepsi ; Auditorius R/t Gangguan penghantaran bunyi pada organ pendengaran
3.      Gangguan Body Image R/t paralysis nervus fasialis ; facial palsy
4.      Ancietas  Prosedur pembedahan ; Miringopalsty / mastoidektomi
C.    Intervensi Keperawatan
1.      Nyeri  proses inflamasi pada jaringan telinga tengah
Tujuan : Penurunan rasa nyeri
Intervensi :
·        Kaji tingkat intensitas klien & mekanisme koping klien
·        Berikan analgetik sesuai indikasi
·        Alihkan perhatian klien dengan menggunakan teknik – teknik relaksasi : distraksi, imajinasi terbimbing, touching, dll
2.      Perubahan sensori – persepsi ; Auditorius R/t Gangguan penghantaran bunyi pada organ pendengaran.
Tujuan : memperbaiki komunikasi
Intervensi :
·        Mengurangi kegaduhan pada lingkungan klien
·        Memandang klien ketika sedang berbicara
·        Berbicara jelas dan tegas pada klien tanpa perlu berteriak
·        Memberikan pencahayaan yang memadai bila klien bergantung pada gerab bibir
·        Menggunakan tanda – tanda nonverbal ( mis. Ekspresi wajah, menunjuk, atau gerakan tubuh ) dan bentuk komunikasi lainnya.
·        Instruksikan kepada keluarga atau orang terdekat klien tentang bagaimana teknik komunikasi yang efektif sehingga mereka dapat saling berinteraksi dengan klien
·        Bila klien menginginkan dapat digunakan alat bantu pendengaran.
3.      Gangguan Body Image R/t paralysis nervus fasialis
·        Kaji tingkat kecemasan dan mekanisme koping klien terlebih dahulu
·        Beritahukan pada klien kemungkinan terjadinya fasial palsy akibat tindak lanjut dari penyakit tersebut
·        Informasikan bahwa keadaan ini biasanya hanya bersifat sementara dan akan hilang dengan pengobatan yang teratur dan rutin.
4.      Ancietas R/t prosedur pembedahan ; miringoplasty / mastoidektomi.
·        Kaji tingkat kecemasan klien dan anjurkan klien untuk mengungkapkan kecemasan serta keprihatinannya mengenai pembedahan.
·        Informasi mengenai pembedahan dan lingkungan ruang operasi penting untuk diketahui klien sebelum pembedahan
·        Mendiskusikan harapan pasca operatif dapat membantu mengurangi ansietas mengenai hal – hal yang tidak diketahui klien.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PERFORASI MEMBRAN THYMPANI

 

A. Pengertian

 media perforata (OMP) atau otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul, sekret mungkin encer atau kental, bening atau bernanah.(Kapita selekta kedokteran, 1999)

B. Etiologi

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit infeksi telinga tengah supuratif menjadi kronis antara lain:
1. Gangguan fungsi tuba eustacius yang kronis akibat:
a. Infeksi hidung dan tenggorok yang kronis dan berulang
b. Obstruksi anatomik tuba eustacius parsial atau total
2. Perforasi membran timpani yang menetap.
3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik menetap lainnya pada telinga tengah.
4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid. Hal ini dapat disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulai atau timpano-sklerosis.
5. Terdapat daerah-daerah osteomielitis persisten di mastoid.
6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh.

 

 

 

C. Patofisiologi

Otitis media supuratif kronis lebih sering merupakan penyakit kambuhan daripada menetap. Keadaan kronis lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman ini disebabkan karena proses peradangan yang menetap atau kambuhan ini ditambah dengan efek kerusakan jaringan, penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.
OMP terutama pada masa anak-anak akan terjadi otitis media nekrotikans dapat menimbulkan perforasi yang besar pada gendang telinga. Setelah penyakit akut berlalu gendang telinga tetap berlubang atau sembuh dengan membran atropi kemudian kolps ke dalam telinga tengah memberi gambaran optitis media atelektasis.

D.    Manifestasi Klinik

-          Perforasi pada marginal atau pada atik.

-           Abses atau kiste retroaurikuler (belakang telinga)

-          Polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang verasal dari dalam telinga tengah.

-          Terlihat kolesteatom pada telinga tengah (sering terlihat di epitimpanum)

-           Sekret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatom)

-          Terlihat bayangan kolesteatom pada foto rontgen mastoid.

E.     Komplikasi

-          Komplikasi di telinga tengah :
1. Perforasi persisten
2. Erosi tulang pendengaran
3. Paralisis nervus fasial

-           Komplikasi di telinga dalam :
1. Fistel labirin
2. Labirinitis supuratif
3. Tuli saraf

-          Komplikasi di ekstrasdural :
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. Petrositis

-          Komplikasi ke susunan saraf pusat :
1. Meningitis
2. Abses otak
3. Hidrosefalus otitis

F.     Pemeriksaan Penunjang

1. Audiometrik untuk mengetahui tuli konduktif
2. Foto rontgent untuk mengetahui patologi mastoid
3. Otoskop untuk melihat perforasi membran timpani

E. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a. Kaji riwayat infeksi telinga dan pengobatan
b. Kaji drainage telinga, keutuhan membran timpani
c. Kaji penurunan / tuli pendengaran
d. Kaji daerah mastoid
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan proses infeksi efek pembedahan.
b. Resiko penyebaran infeksi berhubungen dengan komplikasi proses pembedahan / penyakit.
c. Gangguan persepsi sensori auditory berhubungan dengan proses penyakit dan efek pembedahan.
3. Intervensi Keperawatan
a. Meningkatkan kenyamanan
1) Berikan tindakan untuk mengurangi nyeri
- Beri analgetik
- Lakukan kompres dingin pada area
- Atur posisi nyaman
2) Beri sedatif secara hati-hati agar dapat istirahat (kolaborasi)
b. Pencegahan penyebaran infeksi
1) Mengganti balutan pada daerah luka
2) Observasi tanda-tanda vital
3) Beri antibiotik yang disarankan tim medis
4) Awasi terjadinya infeksi
c. Monitor perubahan sensori
1) Catat status pendengaran
2) Kaji pasien yang mengalami vertigo setelah operasi
3) Awasi keadaan yang dapat menyebabkan injury nervus facial
3. Evaluasi
a. Tak ada infeksi lokal atau CNS
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang
c. Dapat mendengar dengan jelas tanpa atau menggunakan alat bantu pendengaran























DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth., 1997, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Gale, Danielle.RN,MS.,& Jane Charette, RN., 1996, Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi, EGC, Jakarta.
Price, Sylvia.A.,& Lorraine M.Wilson., 1995, Patofisiologi edisi 4 buku 2, EGC, Jakarta.
Robbins & Kumar, 1995, Buku Ajar Patologi II edisi 4, EGC, Jakarta.

No comments:

Post a Comment