SELAMAT DATANG DI BLOG ASUHAN KEPERAWATAN SEMOGA BERMANFAATKADEK WAHYU ADI PUTRAASUHAN KEPERAWATAN GRATIS

Friday 5 October 2012

TERAPI PSIKORELIGIUS


TERAPI PSIKORELIGIUS

A.     Pendahuluan
Saat ini di rumah sakit umum dianjurkan melaksanakan suatu program yang dinamakan program Integrasi Kesehatann Jiwa. Tentu saja ini sudah mulai dijalankan di sejumlah rumah sakit yang berdasarkan agama atau yang dikelola organisasi sosial keagamaan melalui pelaksanaan terapi agama. Disamping dokter yang mengobati, ada juga agamawan yang mendampingi, memberikan dan menuntun do’a. Di RSI, RSHS, dan RSCM, sudah diterbitkan buku tuntunan do’a. Alangkah baiknya bila rohaniawan yang membimbing di rumah sakit juga mempunyai pengetahuan kesehatan atau dokter-dokter yang ada dapat pula memberikan tuntunan agama. Tujuannya agar pasien yang terbaring itu tidak merasa jenuh dan tidak berontak. Karna dalam keadaan berbaring pun ia bisa beribadah, berzikir atau mengaji serta sholat dengan segala kemampuannya.
Dengan demikian pasien tidak merasa ragu karna senantiasa bisa mendapat pahala. Sebaliknya orang yang tidak memiliki tuntunan agama akan merasa gelisah, ingin pulang, cemas, dan sebagainya, yang justru akan menurunkan respon imunitasinya.
Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika, ada sekelompok pasien yang selalu menunda nunda-operasi sehingga jadwal operasi yang sudah dibuat ditunda lagi, kecuali pada operasi yang darurat. Ada masalah apa dengannya? Padahal dalam pemeriksaaan semua sudah bagus, tidak ada alasana untuk menunda operasi. Setelah diselidiki ternyata mereka mengalami ketakutan mengahadpi operasi.
Perasaan takut dioperasi timbul karena takut menghadapi kematian dan tidak bisa bangun lagi setelah dioperasi. Ada pula orang lain yang tidak bermasalah dalam operasi, ternyata permasalahannya adalah soal komitmen agama. Pada kelompok yang lurus-lurus saja, yang komitmen agamanya kuat ada alur pemikiran sebagai berikut : kami percaya pada Tuhan, kami menjalani operasi dengan harapan sembuh andai kata kami meninggalpun tetap saja harus menghadap Tuhan karena semua yang bernyawa pasti akan mati. Kami sudah siap mati karena kami sudah memohon dan berdoa.
Pada orang yang gelisah, langkah awal yang harus dilakukan adalah menjalani terapi keagamaan. Orang ini harus diterapi jiwa dan komitmen keagamaannya sehingga siap untuk meghadapi kenyataan. Ini adalah suatu contoh tentang pentingnya peranan agama.
Pada konfrensi yang diadakan di Canberra pada tahun 1980, dengan tema ”The Role of Religion in The Prevention Of Drug Addiction”. Pada kelompok-kelompok yang terkena narkotik, alcohol, dan zat adiktif (NAZA) itu sejak dini komitmen agamanya lemah. Hal ini dibandingkan dalam penelitian dengan orang yang kuat komitmen agamanya. Kesimpulannya remaja-remaja yang sejak dini komitmen agamanya lemah memiliki resiko terkena NAPZA 4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak-anak remaja yang sejak dini komitmen agamanya kuat. Inilah salah satu contoh peranan agama karena agama itu membawa ketenanangan. Agama mencegah remaja yang mencari ketenangan pada alcohol, narkotik dll.
Contoh tentang peranan agama yang lain adalah di sejumlah rumah sakit jiwa. Ada uji perbandingan terapi yang diterapkan kepada para pendertia penyakit jiwa skizofrenia, yakni antara cara konvensional ( dengan obat dan senbagainnya) dan dengan cara penndekatan keagamaan, hasilnya kelompok skizofrenia yang terapinya ditambah dengan keagamaan waktu perawatannya lebih pendek dan gejala-gejalanya cepat hilang.
Terapi terhadap orang sakit seharusnya dilaksanakan secara holistik (menyeluruh) yang meliputi biologi, psikologis, sosial dan spiritualnya. Menurut Dadang Hawari, pendekatan spiritual dikalangan rumah sakir memang perlu dimasayarakatkan dimana harus ada rohaniawan yang datang ke rumah sakit dan mendoakan penyembuhan.

B.     Religius Sebagai Kebuthan Dasar Dan Got Spot Pada Otak Manusia
V.S. Ramachandran, Direktur Center For Brain America, telah mengadakan serangkaian riset terhadap pasien-pasien pasca epilepsi, yang menyimpulkan bawha pada klien epilepsi terjadi ledakan aktivitas listrik di luar batas normal yang ditandai dengan peningkatan lobus temporal. Klien pasca epilepsi tersebut sebagian besar mengungkapkan pengalaman spiritual berupa keterpesonaan yang mendalam sehingga semua yang lain menjadi sirna, menemukan kebenaran tertinggi yang tidak dialami pikiran biasa, kecemerlangan dan merasakan persentuhan dengn cahaya illahi (Ian Marshal, Spiritual Inteligenci, 2000 : 10).
Penelitian peenting selanjutnya membuktikan bahwa elektroda EEG dihubungkan dengan peelipis orang normal dan klien epilepsi ketika diberi nasihat yang bersifat spiritual / religius, maka terjadi peningkatan aktivitas listrik pada lobus temporal seperti yang terjadi pada klien epilepsi. Pengalaman spiritual di bagian lobus temporal yang berlangsung beberapa detik saja dapat mempengaruhi emosional yang lama dan kuat sepanjang hidup dan dapat mengubah arah hidup (life transforming). Sebagian besar pakar neurobiologi berpendapat Titik Tuhan / ”God Spot” atau Modul Tuhan ”God Module” berkaitan denga pengalaman religius.
Menurut kajian Howard Clinell, yang dikutip Dadang Hawari, menyatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki 10 kebuutuhan religius :
-       Kepercayaan dasar (Basic Trust).
-       Makna hidup secara vertikel dan horizontal.
-       Komitmen peribadatan ritual dan hubungannya dengan keseharian.
-       Kebutuhan pengisian keimanan (Charge) dan kontinuitas hubungan dengan Tuhan.
-       Bebas dari rasa salah dan dosa.
-       Self acceptance and self esteem.
-       Rasa aman, terjamin, dan keselamatan masa depan.
-       Tercapainnya derajat dan martabat yang semakin tinggi serta integritas pribadi.
-       Terpeliharanya interaksi dengan alam.
-       Hidup dalam masayarakat yang religius.

C.     Riset Epidemologi, Korelasi antara Kesehatan dan Religiusitas
Serangkaian riset yang dilakukan Sherill dan Larson 1988, yang didukung riset Dadang Hawari, dilakukan pada klien sebagai berikut :
-       Ca. Rahim dan serviks
-       Collitis dan enteritis
-       Kardiovasce disesase
-       Hipertensi, stroke
-       AIDS
-       NAPZA
-       Gerontik disease
-       Status kesehatan umum
-       Kematian umum
-       Kesakitan dan kematian
Kesimpulan akhir bahwa makin kuat komitmen agama klien tersebut di atas, maka proses penyembuhan makin cepat, lebih mampu mengatasi nyeri, depresi, dan penderitaan (Presman, et all. 1990, Sherill Larson, 1998).




D.    Riset Religiusitas pada Klien Jiwa
Manfaat komitmen agama tidak hanya dalam penyakit fisik, tetapi juga di bidang kesehatan jiwa. Dua studi epidemologik yang luas telah dilakukan terhadap penduduk. Untuk mengetahui sejauh mana penduduk menderita psychological distress. Dari studi tersebut di peroleh kesimpulan bahwa makin religius maka makin terhindar seseorang dari stress (Linaen 1970, Strak 1971). Kemudian dikemukakan lebih mendalam komitmen agama seseorang telah menunjukan peningkatan taraf kesehatan jiwanya.
Terapi keagamaan (Intervensi religi) pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga membawa manfaat. Misalnya angka rawat inap pada klien skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaan lebih rendah bila di bandingkan dengan mereka yang tidak mengikutinya. (Chu dan Klien, 1985). Studi Stark menunjukan bahwa angka frekuensi kunjungan ke tempat ibadah lebih merupakan indicator dan factor yang efektif dalam hubungannya dengan penurunan angka bunuh diri. Sedangkan klien yang tidak diberikan psiko religius terapi pada swicide memiliki risiko 4 kali lebih besar untuk melakukan bunuh diri (Comstock dan Partridge, 1972).
Selanjutnya dikemukakan bahwa kegiatan keagamaan/ibadah/shalat, menurunkan gejala psikiatrik (Mahoney 1985, Young 1986, Martin 1989). Riset yang lain menyebutkan bahwa menurunnya kunjungan ke tempat ibadah, meningkatkan jumlah bunuh diri di USA (Stack, Rusky, 1983).
Kesimpulan dari berbagai riset menunjukkan bahwa religiusitas mampu mencegah dan melindungi dari penyakit kejiwaan, mengurangi penderitaan meningkatkan proses adaptasi dan penyembuhan.
E.     Pendapat Para Ahli Ilmu Jiwa.
  1. Daniel Freedman:”Di dunia ini ada 2 lembaga besar yang berkepentingan dalam Kesehatan Manusia, yaitu kedokteran dan agama”.
  2. Larson (1990): “In navigating the complexities of human health and relation ship religious commitmen is a force to consider”.
  3. Kaplan Sadock (1991): “Dalam klien jiwa latar belakang kehidupan agama klien, keluarga dan pendidikan agama merupakan factor yang sangat penting”.
  4. Gery R. (1992): “Komitmen agama mencegah Aids dan homoseksual”.
  5. Woodhouse (direktur UNICEF,1997): “Pegang teguh ciri khas indonesia, yaitu religius, keutuhan keluarga, gotong royong, agar tidak mengidap penyakit psikososial seperti barat”.
  6. Dadang Hawari (1999): “Al-Qur’an adalah teks book kedokteran dan jiwa”.
  7. C.C. Jung : “ semua penyakit kejiwaan berhubungan dengan agama “.
  8. Emile Bruto : “ kaum sufi ( orang yang merenungi kehidupan batin manusia dan selalu mendekatkan diri pada Tuhannya ), mereka adalah para psikolog-psikolog besar. Mereka memliki kekuatan jiwa yang luar biasa hebatnya. “ ( Nazar, 2001 : 313 ).
  9. Ford H. : “ kaum sufi dapat masuk dan deteksi penyebab penyakit kejiwaan seseorang dimana bila dilakukan oleh pakar psikoanalisa akan memakan waktu bertahun-tahun untuk menganalisanya. ( Nazar, 2001 : 355 ) “.
  10. Subhi : ” metode terapi psikoanalisa bertemu dengan metode terapi sufistik “.
  11. Zakiah Darajat :  “ saya temukan bahwa penyakit jiwa yang disertai dengan terapi agama yang dianutnya, berhasil disembuhkan lebih cepat dan lebih baik dari pada penyakit jiwa yang dilakuka dengan metode modern saja ”. (Zindani, dkk, 1997 : 215).
F.      Pandangan Beberapa Ahli Ilmu Jiwa
Seorang dokter ahli pengobatan kejiwaan yang berkaliber internasional, yaitu C.C. Jung, menyatakan dalam bukunya Modern Man in Search Of Soul menjelaskan bahwa betapa pentingnya kedudukan agama dalam bidang kedokteran dan keperawatan jiwa. Selanjutnya beliau mengungkapkan :
 Di antara pasien saya yang usianya lebih dari setengah baya ( > 35 Tahun ) tidak seorangpun yang menglami penyakit kejiwaan tanpa berhubungan dengan aspek agama.
Menurut H. Aulia dalam bukunya Agama dan Kesehatan Jiwa, “ seorang dokter yang beragama islam yang dianutnya dengan penuh keyakinan dan mempunyai pengetahuan tentang ajaran dan hikmah islam yang lebih banyak dari pada yang biasa dimiliki kebanyakan kaum muslimin. Biasanya terapi dengan pendekatan keagamaan tersebut dapat berhasil dengan baik. Pengobatan kejiwaan dengan pendekatan agama tersebut juga akan berhasil dengan baik meskipun penderita beragama lain atau orang yang tidak beragama sekalipun, asal saja didahului dengan pembicaraan sekedarnya mengenai agama “.
Menurut J. G. Mackenzie yang dikutip Leslie D. Weatherhead :
“ Hasil-hasil baik ahli pengobatan kejiwaan tidak diperolehnya karena pengetahuan yang sempurna tentang ilmu kedokteran umum, malahan juga tidak disebabkan karena ia ahli ilmu penyakit saraf, melainkan karena kecakapannya dalam lapangan agama “.
Pernyataan lain yang juga menegaskan tentang besarnya faedah agama di lapangan ilmu kedokteran dan keperawatan jiwa adalah apa yang dikemukakan oleh Hafield yang sudah bertahun-tahun melakukan pengibatan kejiwaan, di mana ia sampai pada kesimpulan :
 “Saya telah mencoba menyembuhkan penderita kerusakan keseimbangan saraf dengan jalan memberikan sugesti ( mengisyaratkan ) ketenangan dan kepercayaan tetapi usaha ini baru berhasil baik sesudah dihubungkan dengan keyakinan akan kekuasaan Tuhan “.
Semakin lama lapangan ilmu pengetahuan bertambah sadar bahwa keberadaan agama untuk ilmu kedokteran dan keperawatan semakin penting. Hal ini sesuai engan apa-apa yang dikemukakan oleh Elmer Hess ketika pada tahun 1954 terpilih menjadi ketua perhimpunan dokter Amerika ( American Medical Association ) beliau mengemukakan “ seorang dokter yang masuk ruangan pasiennya tidaklah ia seorang diri. Ia hanya dapat menolong seorang penderita dengan alat kebendaan kedokteran, keyakinannya akan kekuasaan yang lebih tinggi mengerjakan hal penting lainnya. Kemukakanlah seorang dokter yang meyangkal adanya zat yang maha tinggi itu maka saya akan katakan bahwa ia tidak berhak mempraktikkan ilmu kedokterannya “.
Di kota New York ada 1 klinik yaitu Religion Psychiatric Clinic (Klinik Kejiwaan Keagamaan) di mana agama memainkan peranan penting. Salah seorang pengarang buku yang terkenal berjudul “agama dan kesehatan jiwa” yaitu Prof. Dr. H. Aulia pernah berkunjung ke tempat tersebut dan mengatakan bahwa pengobatan dan perawatan pasien yang mengalami masalah kejiwaan ditangani secara kolaboratif oleh ahli-ahli kedokteran dan ahli-ahli penyakit jiwa, yaitu Dr. Smiley Belanton dan Dr. Norman V. Pelae. Kedua anggota pimpinan ini mengutip dalam buku karangan mereka berjudul Faith is the answer yang menyatakan bahwa agama besar sekali faedahnya untuk ilmu-ilmu kedokteran khusunya kedokteran kejiwaan. Selanjutnya Dr. Robert C. Pelae, seorang dokter ahli bedah menyatakan sebagai berikut “ Berkat kepercayaan dan keyakinan penderita yang mengalami luka atau pasien , saya sebagai dokter ahli bedah selalu me;ihat penyembuhan-penyembuhan yang disangka tidak mungkin. Saya melihat pula hasil-hasil yang tidak menyenangkan karena percobaan dengan penyembuhan dengan agama saja atau hanya dengan ilmu pengetahuan saja. Oleh sebab itu saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang pasti dan tetap antar agama dan ilmu pengetahuan, dan Tuhan telah memberikan kepada kita kedua-duanya sebagai senjata untuk melawan penyakit dan kesedihan. Bila kedua-duanya dipakai bersama-sama untuk kepentingan manusia maka kemungkinan-kemungkinan kita akan mendapatkan hasil yang baik dengan tidak ada batasnya.
Dalam konfrensi-konfrensi internasional dibahas peranan agama terhadap penyakit-penyakit terminal, seperti AIDS dan kanker, ternyata masalah utamanya bukan masalah medis lagi. Peranan psikiater dan perawat jiwa menjadi lebih penting karena pasien sering merasa cemas, depresi, takut, gelisah, menunggu saat-saat terakhir hidupnya. Untuk itu dibentuklah tim/kelompok-kelompok religius yang disebut psycho-spiritual atau psycho-religius for AIDS patient, for cancer patient, and for terminal ill patient.
Kekosongan spiriyual, kerohanian, dan rasa keagamaan inilah yang sering menimbulkan peramasalahan psikososial di bidang kesehatan jiwa. Para pakar berpendapat bahwa untuk memahami manusia seutuhnya baik dalam keadaan sehat maupun dalam keadaan sakit, pendekatannya tidak lagi memandang manusia sebagai makhluk biopsikososial, tetapi sebagai makhluk biopsikososiospiritual.
Para ahli sekarang sedang meneliti aspek-aspek agama itu secara alamiah dari segi kesehatan jiwa. Baik pada ikatan dokter ahli jiwa Amerika maupun pada ikatan ahli jiwa sedunia, di dalam lingkup ilmunya ada bagian yang disebut Religion and Psychiatry ( agama dan ilmu kedikteran jiwa ). Pertalian antara agama dengan kesehatan jiwa ini diriset, ternyata pengetahuan agama sangat diperlukan bagi dokter ahli ilmu jiwa dan secara ilmiah kejiwaan itu dibicarakan dalam forum-forum ilmu pengetahuan.
Menurut Zakiah Darajat, perasaan berdosa merupakan faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan dengan penyakit-penyakit psikomatik. Hal ini diakibatkan karena seseorang merasa melakukan dosa tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut kemudian menghukum dirinya. Bentuk psikosomatik dapat berupa matanya tidak dapat melihat, lidahnya menjadi bisu, atau menjadi lumpuh.
G.    Pengaruh Do’a terhadap penyakit kejiwaan
Menurut mantan Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam dan Psikosomatik pada Pakultas kedokteran Universitas Indonesia, yaitu Prof. Dr. H. Aulia yang dikutip dari kitab Zadu’ul Ma’ad oleh Majelis Pertimbangan dan Kesehatan RI dalam buku fatwanya no. 9 bernama: ” sumpah dokter dan susila kedokteran ditinjau dari segi hukum islam”. Kutipan itu antara lain, ”Hendaklah dokter itu mempunyai pengetahuan tentang penyakit pikiran dan jiwa serta obatnya. Itu adalah menjadi pokok utama dalam mengobati manusia. Di antara obat-obat yang paling baik untuk penyakit adalah berbuat amal kebajikan, berdzikir, berdo’a serta memohon dan mendekatkan diri kepada Allah dan bertaubat. Semua ini mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pada obat-obat biasa untuk menolak penyakit dan mendatangkan kesembuhan tetapi semua menurut kadar kesediaan penerimaan bathin serta keperacayaannya akan obat kebatinan itu dan manfaatnya”.
Salah satu tindakan keagamaan yang penting adalah berdo’a, yakni memanjatkan permohonan kepada Allah supaya memeproleh seauatu kehendak yang diridhoi. Dari masa ke masa pengaruh do;a tersebut ters-menerus mendapat perhatian penting. Di antaranya oleh A. Carrel pemenang hadaih Nobel tahun 1912 untuk ilmu kedokteran, karena penemuannya di lapangan ilmu bedah. Bila d’a itu dibiasakan dan betul-betul bersunggug-sungguh, maka pengaruhnya menjadi sangat jelas, ia merupakan perubahan kejiawaan dan perubahan somatik. Ketentraman yang ditimbulkan oleh do’a iti merupakan pertolongan yang besar pada pengobatan.
Pada akhir tahun 1957 di Amerika Serikat menurut pengumuman James C. Coleman dalam bukunya Abnormal Psychology and Modern Life, sudah mencapai dua puluh juta. Dari semua cabang ilmu kedokteran, maka cabang ilmu kedokteran jiwa (psikitri) dan kesehatan jiwa (mental health) adalah paling dekat dengan agama ; bahkan dalam mencapai derajat keseahatan yang mengandung arti keadaan kesejahteraan (well being) pada diri manusia, terdapat titik temu anatara kedokteran jiwa / kesehatan jiwa di satu pihak dan agama di pihak lain (Dadang, 1997 : 19).
WHO telah menyempurnakan batasan sehat dengan menambahkan satu spiritual (agama) sehingga sekarang ini yang dimaksud dengan sehat adalah tidak hanya sehat dalam arti fisik, psikoloik, dan sosial, tetapi juga sehat dalam arti spiritual sehingga dimensi sehat menjadi biopsikososiospiritual. Perhatian ilmuan di bidang kedokteran dan keperawatan terhadap agama semakin besar. Tindakan kedokteran tidak selamnya berhasil, seorang ilmuan kedokteran sering berkata ” dokter yang mengobati tetapi Tuhanlah yang menyembuhkan ”pendapat ilmuan tersebut sesuai dengan hasis Nabi : ” setiap penyakit ada obatnya, jika obat itu tapat mengenai sasarannya, maka dengan izin Allah penyakit tersebut akan sembuh”. Sebagai dampak modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan takhnologi, agama, dan tradisi lama ditinggalkan karena dianggap usang. Kemakmuran materi yang diperoleh ternyata tidak selamanya membawa kesejahteraan (well being). Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat negara maju tekah kehilangan aspek spiritual yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, apakah dia termasuk orang yang beragama atau yang sekuler sekalipun. Kekosongan spiritual, kerohanian dan rasa keagmaan inilah yang menimbulkan permasalahan pdikososial di bidang kesehatan jiwa.
Kehausan spiritual, kerohanian dan keagamaan ini nampak jelas pada awal tahun 1970 sehingga saat sejak itu mulai muncul berbagai aliran spiritual atau psuodoagama yang cukup laris merasuk Amerika Serikat yang dikenal dengan istilah New Religion Movment (NRM). NRM ternyata banyak menimbulkan msalah psikososial sehingga APA (Amaerican Psychiatric Association) membentuk task force untuk melakukan penelitian.
Dalam hubungan antara agama da kesehatan jiwa, Cancellaro, Larson, dan Wilson (1982) telah melakukan penelitian terhadap 3 kelompok :
1.      Kronik alkoholik
2.      Kronik drug addict
3.      Skizofrenia
Ketiga kelompok tadi dibandingkan dengan kelompok kontrol dari ketiga kelompok gangguan jiwa dan kelompok kontrol ini yang hendak diteliti adalah riwayat keagamaan mereka. Hasil penelitiannya sungguh mengejutkan, bahwa ternyata pada kelompok kontrol lebih konsisten keyakinan agamanya dan pengalamannya,bila dibandingkan dengan ketiga kelompok di atas. Temuan ini menunjukkan bahwa agama dapat berperan sebagai pelindung daripada sebagai penyebab masalah (religion may have actually been protective rather than problem producing).
Dalam penelitian juga ditemukan bahwa penyalahguna narkotik minatnya terhadapa agama terhadap agama sangat rendah bahkan boleh dikatakan tidak ada minat sama sekali, bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Minat agama khusunya di usia remaja, disebutkan bahwa jika religius di masa remaja tidak ada atau sangat rendah, maka remmaja ini memiliki resiko lebih tinggi untuk terlibat dalam penyalahgunaan obat/narkotika dan alkohol. Temuan ini sesuai dengan temuan di Indonesia (Hawari, 1997 : 14).
Hasil serupa diperoleh dari hasil penelitian Daun dan lavenhar (1980), yang menunjukkan bahwa mereka yang tidak menganut agama dan dalam riwayat tidak pernah mennjalankan ibadah keagamaan di usia remaja, mempunyai risiko tinggi dan tendensi ke arah penyalahgunaan obat/narkotika/alkohol.
Selanjutnya dalam studi tersebut dikemukakan bahwa 89% dari alkoholik telah kehilangan minat agama pada usia remaja (during tenage years), sementara di pihak kontrol 48% minat terhadap agama naik. Sedangkan 32% tidak mengalami perubahan. Hilangnya minat agama pada penderita skizofrenia lebih rendah bila dibandingkan dengan kedua kelompok lainnya. Dibandingakn dengan kelompok kontrol, kelompok skizofrenia tidak menjalankan agamanya dan tidak serajin kelompok kontrol. Hasil temuan ini adalah sebagai akibat dari ketidakharmonisan keluarga. Sebagai contoh misalnya pengajaran agama pada keluarga-keluarga penderita skizofrenia. Tuhan dogambarkan sebagai sosok yang suka menghukum dan bertindak kasar (73%). Sedangkan pada keluarga dari kelompok kontrol Tuhan digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih sayang dan baik hati (70%) (Wilson, Larson, dan Meier). Temuan di atas merupakan tantangan bagi sebagian psikiater yang beranggapan bahwa komitmen agama bagi kesehatan jiwa. Kelompok kontrol yang merupakan kelompok yang tidak mengalami gangguan jiwa ternyata lebih konsisten religiusitasnya daripada kelompok yang menderita gangguan jiwa.
H.    Penerapan Psikoreligius Terapi di Rumah Sakit Jiwa
  1. Psikiater, psikolog, perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang agamanya/kolaborasi dengan agamawan atau rahaniawan.
  2. Psikoreligius tidak diarahkan untuk merubah agama kliennya tetapi menggali sumber koping.
  3. Memadukukan milleu therapy yang religius ; kaligrafi, ayat-ayat, fasilitas ibadah, buku-buku, musik, misalnya lagu pujian/rohani untuk nasrani.
  4. Dalam terapi aktivitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama untuk pasien rehabilitasi.
  5. Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat kehidupan dunia dan sebagainnya.
  6. Sebelum teori Psikoanalisa, para sufi telah mempelopori metoda pengkajian yang mendalam dalam komunikasi yang menyentuh perasaan, menguak konflik-konflik alam bawah sadar pasiennya, mendeteksi was-was, kemarahan, takabbur, kesombongan, ria, dengki, menjadi sabar, wara, zuhud, tawakkal, ridha, syukur, cinta illahi.

I.       Kaitan antara Shalat dengan Ilmu Keperawatan
Mengapa sepanjang rentang kehidupannya Rasulullah jarang sekali mengalami sakit? Benarkah pelaksanaan shalat menjadi salah satu rahasia kesehatannya? Adakah hubungan antara shalat dengan kesehatan kita?
Wudlu Sebelum Shalat dan Aspek Personal Hygiene-nya
Beberapa tahun yang lalu di kota Denver Amerika, pernah terjadi wabah diare yang sangat hebat. Menurut penelitian bdana epidemologi setempat, ternyata penyebabnya adalah kebiasaan mereka dalam membersihkan diri dan bersuci dari najis yang kurang sempurna. Mereka biasanya menggunakan tissue untuk membersihkan BAB. Setelah diadakan peninjauan cara-cara bersucinya umat islam dengan wudlu sebelum shalat dan thaharah (bersuci dari hadas besar dan kecil) mereka akhirnya merubah pola kebersihannya dangen menggunakan air.
Melalui wudlu minimal 5 kali sehari sebelum shalat umat islam akan dijaga kebersihannya dari najis dan kotoran. Dalam wudlu terkandung oral hygiene, vulva hygiene, dan personal hygiene yang sangat lengkap. Sehingga memungkinkan untuk mencegah penyakit infeksi yang disebabkan oleh 5 F (Finger, Feaces, Food, Fly and Fluid). Lebih jauh dengan  cara berwudlu akan mencegah terjadinya penyakit tertentu seperti yang pernah terjadi di daerah pertambangan Amerika Utara. Akibat terakumulasinya timah hitam (plumbum) dan zat-zat Carsinogenic leinnya menyebabkan tingginya angka kanker kulit. Sedangkan setelah diperbandingkan dengan negara yang mayoritas peduduknya agama islam angka tersebut sangat kecil. Terutama karena dengan wudlu minimal 5 kali sehari kebersihan kita dijaga dari akumulasi zat-zat toksik pada tubuh kita. Berwudlu menjadi rahasia kesehatan Rasulullah sepanjang rentang hidupnya, bahkan beliau sangat mewasiatkan untuk senantiasa tampil besih, memakai wewangian, dan bersiwak (gosok gigi) dengan sempurna.
Pengaruh Gerakan Shalat pada Sistem Cardiovaskular
 Gerakan-gerkan dalam shalat merupakan gerkan-gerakan teratur yang dilakukan sedikitnya 5 kali dalam satu hari sat malam, sehingga berdampak sebagai olah raga yang teratur dalam siklus body biorytmic dan irama sirkandian, di dalamnya terdapat unsur olah raga, relaksasi, latihan konsentrasi, reduksi stress, dan pencegahan penyakit. Apalagi bila shalat tersebut dilakukan dengan tepat waktu. Gerkan berdiri, ruku’, duduk, dan sujud akan mempengaruhi kelancaran sistem sirkulasi darah dan crdiovaskular tubuh. Hal ini berkaitan dengan tekanan hidrostatic yang berpengaruh terhadap tekanan arteri dan sistem vascular yang lain. Pada saat berdiri pompa vena tidak bekerja dan pada saat bergerak akan terjadi kontraksi pada otot, vena tertekan sehingga memompa darah dari vena untuk menjaga kelancaran sirkulasinya.
Beberapa pakar kesehatan dunia, juga menyoroti masalah shalat ditinjau dari ilmu kesehatan. Prof. Dr. Vanschreber mengatakan bahwa gerakan shalat yang merupakan salah satu ibadah rutin dalam agama islam adalah suatu cara untuk memperoleh kesehatan dalam arti yang seluas-luasnya dan dapat dibuktikan secara ilmiah.
Aspek Psikoreligius Terapi Pada Shalat
Menurut Ancok (1985 : 1989) dan Suroso (1994) ada beberapa aspek terapiutik yang terdapat pada shalat, antara lai aspek olahraga, aspek meditasi, aspek auto-sugesti, dan aspek kebersamaan. Di samping itu shalat unsur relaksasi oto, relaksasi kesadaran indera, aspek katarsis (Haryanto, 2001).
Aspek Psikologi shalat Berjama’a
Shalat berjamah mempunyai dimensi psikologis tersendiri antara lain ; rasabdiperhatikan dan berarti, kebersamaan, tidak adanya jarak personal, penglihatan, perhahatian (terapi lingkungan), dan interdependensi (Haryanto, 2001).
1.      rasa diperhatikan dan berarti
seseorang yang merasa tidak diperhatikan atau diacujkan oleh keluarganya, masyarakat atau lingkungan dimana ia berada sering mengalami gangguan atau goncangan jiwa. Bahkan yang stres, depresi, dan berakhir dengan bunuh diri. Pada sholat berjamaah ada unsur-unsur rasa diperhatikan dan berarti bagi diri seorang. Beberapa aspek pada dimensi ini antar lain:
a.                   memilih dan menempati shaf. Dalam sholat siapa saja yang datang terlebih dahulu ”berhak” untuk menempa shaf atau barisan pertama atau terdepan. Dalam agama islam, shaf terdepan dan sebelah kanan merupakan shaf yang utama, seperti nabi katakan: ”sesungguhnya allah dan para malaikat-nya bershalawat atas shaf-shaf yang pertama.” (hadist riwayat Abu Daud, An-nasai dari Al-Bara).
”sesungguhnya allah dan para malaikat-nya bershalawat atas shaf-shaf sebelah kanan.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dari ’Aisyah)
b.                  setelah duduk maka para jamaah mempunyai kebiasaan untuk bersalaman dengan jamaah yang ada di kanan dan kiri bahkan dengan sebelah depan dan belakang. Hal ini menunjukan bahwa ia mempunyai kedudukan yang sama dan berhak untuk menyapa lingkungannya.
c.                   Pada saat mengisi shaf dan meluruskan shaf, apabila sholat akan dimulai maka imam  akan memeriksa barisan kemudian akan ”memerintahkan” pada makmum untuk mengisi shaf yang kosong dan merapatkan barisan. Hal ini juga tidak memperdulikan ”siapa makmum-nya”, jika ada shaf yang kosong harus segera diisi dan juga kalau kurang rapat harus dirapatkan.
d.                  Pada saat membaca al-fatihah maka para makmum mengucapkan ”amin” (kabulkan do’a kami) secara serempak, bersama-sama, dan juga dalam mengikuti gerakan imam. Tidak boleh saling mendahului karna mungkin merasa mempunyai kedudukan atau atribut lain yang lebih dari imam.
e.                   Demikian juga saat akan mengahiri shalat mereka mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri serta saling bersalaman lagi.
2.      Rasa kebersamaan
Menurut Djamaludin Ancok (1989) dan Utsman Najati (1985), aspek  kebersamaan pada shalat berjamaah mempunyai nilai terapeutik, dapat menghindarkan seseorang dari rasa terisolir, tepencil, tiddak dapat bergabung  dalam kelompok, tidak diterima atau dilupakan.
3.      jraak personal
salah satu kesempurnaan shalat berjamaah adalah lurus dan rapatnya barisan (shaf) para jamaahnya. Ini berarti tidak ada jarak personal antara satu dengan lainnya. Masing-masing berusaha untuk mengurangi jarak personal, bahkan kepada mereka yang tidak ia kenal, namun merasa ada satu ikatan yaitu ”ikatan aqidah (keyakinan)”.


4.      terapi lingkungan
salah satu kesempurnaan shalat adalah di lakukan berjamaah dan lebih utama lagi dilakukan di masjid. Masjid dalam islam memepunyai peranan yang cukup besar, masjid bukan sebagai pusat aktivitas beragama dalam arti sempit namun sebagai pusat aktivitas kegiatan umat. Sehingga shalat di masjid ini mengandung unsur terapi lingkungan (haryanto, 2001).
5.      pengalihan perhatian
melakukan shalat berjamaah di masjid atau mushola juga diharapkan akan juga mengalihkan perhatian seseorang dari kesibukan yang sudah menyita segala energi yang ada dalam diri seseorang dan kadang-kadang sebagai  
penyebab stres. Lingkungan masjid atau mushola akan memberikan suasana yang rileks, tenang, apabila ia bertemu dengan jamaah lain.
6.      melatih saling ketergantungan
yang dimaksud dengan shalat berjamaah adalah minimal dua orang. Sehingga jika ia ingin disebut sebagai shalat berjamaah, maka ia harus membutuhkan, menunggu, berkongsi dengan sedikitnya satu orang.
7.      membantu memecahkan masalah
shalat berjamaah di masjid sekarang ini sudah banyak para takmir masjid menyelenggarakan pengajian pendek yang lebih dikenal ”kultum (kuliah tujuh menit)” setiap selesai shalat. Tentunya salah satu pokok pembahasannya adalah mengenai permasalahan manusia, sehingga hal ini akan membantu pemecahan masalah.
Psychoreligious Therpy Bagi Klien Ketergantungan NAPZA
NAPZA adalah suatu momok menakutkan yang membayang-bayangi dan menghantui serta siap menghancurkan masa depan terutama generasi muda. Bagi pecandu, akibat akhir setelah terlibat NAPZA mudah ditebak.pilihannya adalah kantor polisi, rumah sakit jiwa, kuburan, atau selamat kembali jika ia mau bertobat dan insyaf.
Masalah NAPZA sebetulnya masalah mental. Jadi focus yang terberat dalam penangannya sebenarnya pada tahap rehabilitasi mental bukan pada terapi medik, itu yang dituturkan oleh Prof. Dr. Dadang Hawari. Dalam hal ini pendekatan agamalah yang lebih tepat.
Psikoreligius Islami untuk Klien Ketergantungan NAPZA
Dalam islami, penanganan masalah NAPZA sudah cukup lengkap baik segi preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Secara preventif, islami telah melarang dengan tegas yang tertera dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2); 219 dan Surat al-Imron (3); 90-91 bahwa khamar(arak dan sejenisnya yang merusak fisik danmental manusia) adalah haram. Dalam khamar terdapat dosa besar dan manfaat bagi manusia, tapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya dan implikasinya selain merusak langsung pada dirinya juga akan menjerumuskan ke dalam permusuhan dan membenci antar sesama. Hah ini sudah terbukti secara nyata dalam masyarakat, akibat NAPZA berupa tindak kriminal, pemerkosaan, anarkis sampai si pemakainya mengalami psikosis/skizofrenia.
  Secara kuratif, dalam islam ada berbagai macam cara, di antaranya;
a.             Niat dan Mempunyai Motivasi Bertaubat
Langkah awal yang merupakan kunci untuk keberhasilan terapi, klien harus mempunyai motivasi dan niat yang ikhlas untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi, artinya klien melakukan taubatan nasuha (tobat yang sebenar-benarnya) untuk tidak mengulangi perbuatan dhalim-nya. Sesuai dengan teori motivasi bahwa terjadinya tingkahlaku disebabkan oleh adanya kebutuhan yang dirasakan oleh individu.
Dorongan/kebutuhan motif rangsangan perbuatan tujuan
Kuatnya motivasi sangat menentukan keberhsilan tujunnya, hal ini dapat dilihat dari:
-       Kuatnya kemauan untuk berbuat.
-       Jumlah waktu yang disediakan.
-       Kerelaan meninggalkan pekerjaan yang lain.
-       Kerelaan mengeluarkan biaya.
-       Ketekunan dalam mengerjakan tugas.
Untuk mencapai tujuan melepaskan diri dari NAPZA, klien harus mempunyai motivasi terlebih dahulu dan diikuti dengan perbuatan diantara diantaranya mandi, shalat, djikir, shaum, dan menjalankan syariat islam yang lainnya.
Hubungan Pelaksanaan Shalat dan Defresi pada Lansia
Pada lansia, terjadi penurunan konsentrasi dan aktifitas dopamin, norepinephrin, serotonin, dan epinephrin. Menurut St. Pierre et al., (1986) menurunnya konsentrasi kimia ini pada proses penuaan sebagai faktor terjadinya depresi pada lansia (Mildred,1995). Disebutkan juga defisiensi katekolamin, tidak berfungsinya endokrin dan hipersekresi kortisol adalah perubahan kimia yang terjadi di dalam tubuh pada keadaan depresi (Stuart dan Sundeen, 1995).
Penutup
Dari sejumlah peneliti para ahli, ternyata bisa disimpulkan, bahwa komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penyakit dan mempercepat pemulihan penyakit yang dipadukan dengan terapi kedokteran. Agama lebih bersifat protektif daripada problem producing. Komitmen agama mempunyai hubungan signifikan dan positif dengan clinical benefit. Kesimpulan umum adalah seperti apa yang telah dikemukakan oleh Larson (1990), ”Masyarakat dan bangsa kita adalah bangsa yang religius. Maka sepatutnyalah pendekatan keagamaan dalam praktik kedokteran dan keperawatan dapat diamalkan dalam dunia kesehatan. Dengan catatan bukan tujuan untuk mengubah keimanan seseorang terhadap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritualnya dalam menghadapi penyakit.

No comments:

Post a Comment