TERAPI PSIKORELIGIUS
A. Pendahuluan
Saat ini di rumah sakit umum dianjurkan melaksanakan
suatu program yang dinamakan program Integrasi Kesehatann Jiwa. Tentu saja ini sudah mulai dijalankan di sejumlah
rumah sakit yang berdasarkan agama atau yang dikelola organisasi sosial
keagamaan melalui pelaksanaan terapi agama. Disamping dokter yang mengobati,
ada juga agamawan yang mendampingi, memberikan dan menuntun do’a. Di RSI, RSHS,
dan RSCM, sudah diterbitkan buku tuntunan do’a. Alangkah baiknya bila
rohaniawan yang membimbing di rumah sakit juga mempunyai pengetahuan kesehatan
atau dokter-dokter yang ada dapat pula memberikan tuntunan agama. Tujuannya
agar pasien yang terbaring itu tidak merasa jenuh dan tidak berontak. Karna
dalam keadaan berbaring pun ia bisa beribadah, berzikir atau mengaji serta sholat
dengan segala kemampuannya.
Dengan
demikian pasien tidak merasa ragu karna senantiasa bisa mendapat pahala.
Sebaliknya orang yang tidak memiliki tuntunan agama akan merasa gelisah, ingin
pulang, cemas, dan sebagainya, yang justru akan menurunkan respon imunitasinya.
Dalam
penelitian yang dilakukan di Amerika, ada sekelompok pasien yang selalu menunda
nunda-operasi sehingga jadwal operasi yang sudah dibuat ditunda lagi, kecuali
pada operasi yang darurat. Ada masalah apa dengannya? Padahal dalam
pemeriksaaan semua sudah bagus, tidak ada alasana untuk menunda operasi.
Setelah diselidiki ternyata mereka mengalami ketakutan mengahadpi operasi.
Perasaan
takut dioperasi timbul karena takut menghadapi kematian dan tidak bisa bangun
lagi setelah dioperasi. Ada pula orang lain yang tidak bermasalah dalam
operasi, ternyata permasalahannya adalah soal komitmen agama. Pada kelompok
yang lurus-lurus saja, yang komitmen agamanya kuat ada alur pemikiran sebagai
berikut : kami percaya pada Tuhan, kami menjalani operasi dengan harapan sembuh
andai kata kami meninggalpun tetap saja harus menghadap Tuhan karena semua yang
bernyawa pasti akan mati. Kami sudah siap mati karena kami sudah memohon dan
berdoa.
Pada orang
yang gelisah, langkah awal yang harus dilakukan adalah menjalani terapi
keagamaan. Orang ini harus diterapi jiwa dan komitmen keagamaannya sehingga
siap untuk meghadapi kenyataan. Ini adalah suatu contoh tentang pentingnya
peranan agama.
Pada
konfrensi yang diadakan di Canberra
pada tahun 1980, dengan tema ”The Role of Religion in The Prevention Of Drug
Addiction”. Pada kelompok-kelompok yang terkena narkotik, alcohol, dan zat
adiktif (NAZA) itu sejak dini komitmen agamanya lemah. Hal ini dibandingkan
dalam penelitian dengan orang yang kuat komitmen agamanya. Kesimpulannya
remaja-remaja yang sejak dini komitmen agamanya lemah memiliki resiko terkena
NAPZA 4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak-anak remaja yang sejak dini
komitmen agamanya kuat. Inilah salah satu contoh peranan agama karena agama itu
membawa ketenanangan. Agama mencegah remaja yang mencari ketenangan pada
alcohol, narkotik dll.
Contoh
tentang peranan agama yang lain adalah di sejumlah rumah sakit jiwa. Ada uji
perbandingan terapi yang diterapkan kepada para pendertia penyakit jiwa
skizofrenia, yakni antara cara konvensional ( dengan obat dan senbagainnya) dan
dengan cara penndekatan keagamaan, hasilnya kelompok skizofrenia yang terapinya
ditambah dengan keagamaan waktu perawatannya lebih pendek dan gejala-gejalanya
cepat hilang.
Terapi
terhadap orang sakit seharusnya dilaksanakan secara holistik (menyeluruh) yang
meliputi biologi, psikologis, sosial dan spiritualnya. Menurut Dadang Hawari, pendekatan
spiritual dikalangan rumah sakir memang perlu dimasayarakatkan dimana harus ada
rohaniawan yang datang ke rumah sakit dan mendoakan penyembuhan.
B.
Religius Sebagai Kebuthan Dasar Dan Got
Spot Pada Otak Manusia
V.S. Ramachandran, Direktur Center For Brain America, telah
mengadakan serangkaian riset terhadap pasien-pasien pasca epilepsi, yang
menyimpulkan bawha pada klien epilepsi terjadi ledakan aktivitas listrik di
luar batas normal yang ditandai dengan peningkatan lobus temporal. Klien pasca
epilepsi tersebut sebagian besar mengungkapkan pengalaman spiritual berupa
keterpesonaan yang mendalam sehingga semua yang lain menjadi sirna, menemukan
kebenaran tertinggi yang tidak dialami pikiran biasa, kecemerlangan dan
merasakan persentuhan dengn cahaya illahi (Ian
Marshal, Spiritual Inteligenci, 2000 : 10).
Penelitian
peenting selanjutnya membuktikan bahwa elektroda EEG dihubungkan dengan
peelipis orang normal dan klien epilepsi ketika diberi nasihat yang bersifat
spiritual / religius, maka terjadi peningkatan aktivitas listrik pada lobus
temporal seperti yang terjadi pada klien epilepsi. Pengalaman spiritual di
bagian lobus temporal yang berlangsung beberapa detik saja dapat mempengaruhi
emosional yang lama dan kuat sepanjang hidup dan dapat mengubah arah hidup
(life transforming). Sebagian besar pakar neurobiologi berpendapat Titik Tuhan
/ ”God Spot” atau Modul Tuhan ”God Module” berkaitan denga pengalaman religius.
Menurut
kajian Howard Clinell, yang dikutip Dadang Hawari, menyatakan bahwa pada
dasarnya manusia memiliki 10 kebuutuhan religius :
-
Kepercayaan
dasar (Basic Trust).
-
Makna
hidup secara vertikel dan horizontal.
-
Komitmen
peribadatan ritual dan hubungannya dengan keseharian.
-
Kebutuhan
pengisian keimanan (Charge) dan kontinuitas hubungan dengan Tuhan.
-
Bebas
dari rasa salah dan dosa.
-
Self acceptance and self esteem.
-
Rasa aman, terjamin, dan keselamatan masa depan.
-
Tercapainnya derajat dan martabat yang semakin
tinggi serta integritas pribadi.
-
Terpeliharanya interaksi dengan alam.
-
Hidup dalam masayarakat yang religius.
C.
Riset Epidemologi, Korelasi antara
Kesehatan dan Religiusitas
Serangkaian
riset yang dilakukan Sherill dan Larson 1988,
yang didukung riset Dadang Hawari, dilakukan
pada klien sebagai berikut :
-
Ca. Rahim dan serviks
-
Collitis dan enteritis
-
Kardiovasce disesase
-
Hipertensi, stroke
-
AIDS
-
NAPZA
-
Gerontik disease
-
Status kesehatan umum
-
Kematian umum
-
Kesakitan dan kematian
Kesimpulan akhir bahwa makin kuat komitmen agama klien
tersebut di atas, maka proses penyembuhan makin cepat, lebih mampu mengatasi
nyeri, depresi, dan penderitaan (Presman,
et all. 1990, Sherill Larson, 1998).
D. Riset Religiusitas pada Klien Jiwa
Manfaat komitmen agama tidak hanya dalam penyakit
fisik, tetapi juga di bidang kesehatan jiwa. Dua studi epidemologik yang luas
telah dilakukan terhadap penduduk. Untuk mengetahui sejauh mana penduduk
menderita psychological distress. Dari studi tersebut di peroleh kesimpulan
bahwa makin religius maka makin terhindar seseorang dari stress (Linaen 1970, Strak 1971). Kemudian dikemukakan lebih mendalam komitmen agama
seseorang telah menunjukan peningkatan taraf kesehatan jiwanya.
Terapi keagamaan (Intervensi religi) pada kasus-kasus
gangguan jiwa ternyata juga membawa manfaat. Misalnya angka rawat inap pada
klien skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaan lebih rendah bila di
bandingkan dengan mereka yang tidak mengikutinya. (Chu dan Klien, 1985).
Studi Stark menunjukan bahwa angka
frekuensi kunjungan ke tempat ibadah lebih merupakan indicator dan factor yang
efektif dalam hubungannya dengan penurunan angka bunuh diri. Sedangkan klien
yang tidak diberikan psiko religius terapi pada swicide memiliki risiko 4 kali
lebih besar untuk melakukan bunuh diri (Comstock
dan Partridge, 1972).
Selanjutnya dikemukakan bahwa kegiatan
keagamaan/ibadah/shalat, menurunkan gejala psikiatrik (Mahoney 1985, Young 1986,
Martin 1989). Riset yang lain
menyebutkan bahwa menurunnya kunjungan ke tempat ibadah, meningkatkan jumlah
bunuh diri di USA
(Stack, Rusky, 1983).
Kesimpulan dari berbagai riset menunjukkan bahwa
religiusitas mampu mencegah dan melindungi dari penyakit kejiwaan, mengurangi
penderitaan meningkatkan proses adaptasi dan penyembuhan.
E. Pendapat Para
Ahli Ilmu Jiwa.
- Daniel Freedman:”Di dunia ini ada 2 lembaga besar yang berkepentingan dalam Kesehatan Manusia, yaitu kedokteran dan agama”.
- Larson (1990): “In navigating the complexities of human health and relation ship religious commitmen is a force to consider”.
- Kaplan Sadock (1991): “Dalam klien jiwa latar belakang kehidupan agama klien, keluarga dan pendidikan agama merupakan factor yang sangat penting”.
- Gery R. (1992): “Komitmen agama mencegah Aids dan homoseksual”.
- Woodhouse (direktur UNICEF,1997): “Pegang teguh ciri khas indonesia, yaitu religius, keutuhan keluarga, gotong royong, agar tidak mengidap penyakit psikososial seperti barat”.
- Dadang Hawari (1999): “Al-Qur’an adalah teks book kedokteran dan jiwa”.
- C.C. Jung : “ semua penyakit kejiwaan berhubungan dengan agama “.
- Emile Bruto : “ kaum sufi ( orang yang merenungi kehidupan batin manusia dan selalu mendekatkan diri pada Tuhannya ), mereka adalah para psikolog-psikolog besar. Mereka memliki kekuatan jiwa yang luar biasa hebatnya. “ ( Nazar, 2001 : 313 ).
- Ford H. : “ kaum sufi dapat masuk dan deteksi penyebab penyakit kejiwaan seseorang dimana bila dilakukan oleh pakar psikoanalisa akan memakan waktu bertahun-tahun untuk menganalisanya. ( Nazar, 2001 : 355 ) “.
- Subhi : ” metode terapi psikoanalisa bertemu dengan metode terapi sufistik “.
- Zakiah Darajat : “ saya temukan bahwa penyakit jiwa yang disertai dengan terapi agama yang dianutnya, berhasil disembuhkan lebih cepat dan lebih baik dari pada penyakit jiwa yang dilakuka dengan metode modern saja ”. (Zindani, dkk, 1997 : 215).
F. Pandangan Beberapa Ahli Ilmu Jiwa
Seorang dokter ahli pengobatan kejiwaan yang
berkaliber internasional, yaitu C.C.
Jung, menyatakan dalam bukunya Modern Man in Search Of Soul menjelaskan
bahwa betapa pentingnya kedudukan agama dalam bidang kedokteran dan keperawatan
jiwa. Selanjutnya beliau mengungkapkan :
Di antara pasien saya yang usianya
lebih dari setengah baya ( > 35 Tahun ) tidak seorangpun yang menglami
penyakit kejiwaan tanpa berhubungan dengan aspek agama.
Menurut H.
Aulia dalam bukunya Agama dan Kesehatan Jiwa, “ seorang dokter yang
beragama islam yang dianutnya dengan penuh keyakinan dan mempunyai pengetahuan
tentang ajaran dan hikmah islam yang lebih banyak dari pada yang biasa dimiliki
kebanyakan kaum muslimin. Biasanya terapi dengan pendekatan keagamaan tersebut
dapat berhasil dengan baik. Pengobatan kejiwaan dengan pendekatan agama
tersebut juga akan berhasil dengan baik meskipun penderita beragama lain atau
orang yang tidak beragama sekalipun, asal saja didahului dengan pembicaraan
sekedarnya mengenai agama “.
Menurut J. G. Mackenzie yang
dikutip Leslie D. Weatherhead :
“ Hasil-hasil baik ahli pengobatan kejiwaan tidak diperolehnya karena
pengetahuan yang sempurna tentang ilmu kedokteran umum, malahan juga tidak
disebabkan karena ia ahli ilmu penyakit saraf, melainkan karena kecakapannya
dalam lapangan agama “.
Pernyataan lain yang juga menegaskan tentang besarnya
faedah agama di lapangan ilmu kedokteran dan keperawatan jiwa adalah apa yang
dikemukakan oleh Hafield yang sudah bertahun-tahun
melakukan pengibatan kejiwaan, di mana ia sampai pada kesimpulan :
“Saya telah mencoba menyembuhkan
penderita kerusakan keseimbangan saraf dengan jalan memberikan sugesti (
mengisyaratkan ) ketenangan dan kepercayaan tetapi usaha ini baru berhasil baik
sesudah dihubungkan dengan keyakinan akan kekuasaan Tuhan “.
Semakin lama lapangan ilmu pengetahuan bertambah sadar
bahwa keberadaan agama untuk ilmu kedokteran dan keperawatan semakin penting.
Hal ini sesuai engan apa-apa yang dikemukakan oleh Elmer Hess ketika pada tahun 1954 terpilih menjadi ketua
perhimpunan dokter Amerika ( American Medical Association ) beliau mengemukakan
“ seorang dokter yang masuk ruangan pasiennya tidaklah ia seorang diri. Ia
hanya dapat menolong seorang penderita dengan alat kebendaan kedokteran,
keyakinannya akan kekuasaan yang lebih tinggi mengerjakan hal penting lainnya.
Kemukakanlah seorang dokter yang meyangkal adanya zat yang maha tinggi itu maka
saya akan katakan bahwa ia tidak berhak mempraktikkan ilmu kedokterannya “.
Di kota
New York ada 1 klinik yaitu
Religion Psychiatric Clinic (Klinik Kejiwaan Keagamaan) di mana agama memainkan
peranan penting. Salah seorang pengarang buku yang terkenal berjudul “agama dan kesehatan jiwa” yaitu Prof. Dr. H. Aulia pernah berkunjung ke
tempat tersebut dan mengatakan bahwa pengobatan dan perawatan pasien yang
mengalami masalah kejiwaan ditangani secara kolaboratif oleh ahli-ahli
kedokteran dan ahli-ahli penyakit jiwa, yaitu Dr. Smiley Belanton dan Dr.
Norman V. Pelae. Kedua anggota pimpinan ini mengutip dalam buku karangan
mereka berjudul Faith is the answer yang menyatakan bahwa agama besar sekali
faedahnya untuk ilmu-ilmu kedokteran khusunya kedokteran kejiwaan. Selanjutnya Dr. Robert C. Pelae, seorang dokter ahli bedah menyatakan sebagai
berikut “ Berkat kepercayaan dan keyakinan penderita yang mengalami luka atau
pasien , saya sebagai dokter ahli bedah selalu me;ihat penyembuhan-penyembuhan
yang disangka tidak mungkin. Saya melihat pula hasil-hasil yang tidak
menyenangkan karena percobaan dengan penyembuhan dengan agama saja atau hanya
dengan ilmu pengetahuan saja. Oleh sebab itu saya berkeyakinan bahwa ada
hubungan yang pasti dan tetap antar agama dan ilmu pengetahuan, dan Tuhan telah
memberikan kepada kita kedua-duanya sebagai senjata untuk melawan penyakit dan
kesedihan. Bila kedua-duanya dipakai bersama-sama untuk kepentingan manusia
maka kemungkinan-kemungkinan kita akan mendapatkan hasil yang baik dengan tidak
ada batasnya.
Dalam konfrensi-konfrensi internasional dibahas
peranan agama terhadap penyakit-penyakit terminal, seperti AIDS dan kanker,
ternyata masalah utamanya bukan masalah medis lagi. Peranan psikiater dan perawat jiwa menjadi lebih
penting karena pasien sering merasa cemas, depresi, takut, gelisah, menunggu saat-saat
terakhir hidupnya. Untuk itu dibentuklah tim/kelompok-kelompok religius yang
disebut psycho-spiritual atau psycho-religius for AIDS patient, for cancer
patient, and for terminal ill patient.
Kekosongan
spiriyual, kerohanian, dan rasa keagamaan inilah yang sering menimbulkan
peramasalahan psikososial di bidang kesehatan jiwa. Para pakar berpendapat
bahwa untuk memahami manusia seutuhnya baik dalam keadaan sehat maupun dalam
keadaan sakit, pendekatannya tidak lagi memandang manusia sebagai makhluk biopsikososial,
tetapi sebagai makhluk biopsikososiospiritual.
Para ahli
sekarang sedang meneliti aspek-aspek agama itu secara alamiah dari segi
kesehatan jiwa. Baik pada ikatan dokter ahli jiwa Amerika maupun pada ikatan
ahli jiwa sedunia, di dalam lingkup ilmunya ada bagian yang disebut Religion
and Psychiatry ( agama dan ilmu kedikteran jiwa ). Pertalian antara agama
dengan kesehatan jiwa ini diriset, ternyata pengetahuan agama sangat diperlukan
bagi dokter ahli ilmu jiwa dan secara ilmiah kejiwaan itu dibicarakan dalam
forum-forum ilmu pengetahuan.
Menurut Zakiah Darajat, perasaan berdosa merupakan
faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan dengan penyakit-penyakit
psikomatik. Hal ini diakibatkan karena seseorang merasa melakukan dosa tidak
bisa terlepas dari perasaan tersebut kemudian menghukum dirinya. Bentuk
psikosomatik dapat berupa matanya tidak dapat melihat, lidahnya menjadi bisu, atau
menjadi lumpuh.
G.
Pengaruh Do’a terhadap penyakit kejiwaan
Menurut
mantan Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam dan Psikosomatik pada Pakultas kedokteran
Universitas Indonesia, yaitu Prof. Dr.
H. Aulia yang dikutip dari kitab Zadu’ul
Ma’ad oleh Majelis Pertimbangan dan Kesehatan RI dalam buku fatwanya no. 9
bernama: ” sumpah dokter dan susila kedokteran ditinjau dari segi hukum islam”.
Kutipan itu antara lain, ”Hendaklah
dokter itu mempunyai pengetahuan tentang penyakit pikiran dan jiwa serta
obatnya. Itu adalah menjadi pokok utama dalam mengobati manusia. Di antara obat-obat
yang paling baik untuk penyakit adalah berbuat amal kebajikan, berdzikir,
berdo’a serta memohon dan mendekatkan diri kepada Allah dan bertaubat. Semua
ini mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pada obat-obat biasa untuk menolak
penyakit dan mendatangkan kesembuhan tetapi semua menurut kadar kesediaan penerimaan
bathin serta keperacayaannya akan obat kebatinan itu dan manfaatnya”.
Salah satu
tindakan keagamaan yang penting adalah berdo’a, yakni memanjatkan permohonan
kepada Allah supaya memeproleh seauatu kehendak yang diridhoi. Dari masa ke
masa pengaruh do;a tersebut ters-menerus mendapat perhatian penting. Di
antaranya oleh A. Carrel pemenang
hadaih Nobel tahun 1912 untuk ilmu kedokteran, karena penemuannya di lapangan
ilmu bedah. Bila d’a itu dibiasakan dan betul-betul bersunggug-sungguh, maka
pengaruhnya menjadi sangat jelas, ia merupakan perubahan kejiawaan dan
perubahan somatik. Ketentraman yang ditimbulkan oleh do’a iti merupakan
pertolongan yang besar pada pengobatan.
Pada akhir
tahun 1957 di Amerika Serikat menurut pengumuman James C. Coleman dalam bukunya Abnormal
Psychology and Modern Life, sudah mencapai dua puluh juta. Dari semua
cabang ilmu kedokteran, maka cabang ilmu kedokteran jiwa (psikitri) dan
kesehatan jiwa (mental health) adalah paling dekat dengan agama ; bahkan dalam
mencapai derajat keseahatan yang mengandung arti keadaan kesejahteraan (well
being) pada diri manusia, terdapat titik temu anatara kedokteran jiwa /
kesehatan jiwa di satu pihak dan agama di pihak lain (Dadang, 1997 : 19).
WHO telah
menyempurnakan batasan sehat dengan menambahkan satu spiritual (agama) sehingga
sekarang ini yang dimaksud dengan sehat adalah tidak hanya sehat dalam arti
fisik, psikoloik, dan sosial, tetapi juga sehat dalam arti spiritual sehingga
dimensi sehat menjadi biopsikososiospiritual. Perhatian ilmuan di bidang
kedokteran dan keperawatan terhadap agama semakin besar. Tindakan kedokteran
tidak selamnya berhasil, seorang ilmuan kedokteran sering berkata ” dokter yang
mengobati tetapi Tuhanlah yang menyembuhkan ”pendapat ilmuan tersebut sesuai
dengan hasis Nabi : ” setiap penyakit ada obatnya, jika obat itu tapat mengenai
sasarannya, maka dengan izin Allah penyakit tersebut akan sembuh”. Sebagai
dampak modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan takhnologi,
agama, dan tradisi lama ditinggalkan karena dianggap usang. Kemakmuran materi
yang diperoleh ternyata tidak selamanya membawa kesejahteraan (well being).
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat negara maju tekah kehilangan aspek
spiritual yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, apakah dia
termasuk orang yang beragama atau yang sekuler sekalipun. Kekosongan spiritual,
kerohanian dan rasa keagmaan inilah yang menimbulkan permasalahan pdikososial
di bidang kesehatan jiwa.
Kehausan
spiritual, kerohanian dan keagamaan ini nampak jelas pada awal tahun 1970
sehingga saat sejak itu mulai muncul berbagai aliran spiritual atau psuodoagama
yang cukup laris merasuk Amerika Serikat yang dikenal dengan istilah New Religion Movment (NRM). NRM ternyata banyak menimbulkan msalah psikososial sehingga
APA (Amaerican Psychiatric Association) membentuk task force untuk melakukan penelitian.
Dalam
hubungan antara agama da kesehatan jiwa, Cancellaro,
Larson, dan Wilson (1982) telah
melakukan penelitian terhadap 3 kelompok :
1. Kronik alkoholik
2. Kronik drug
addict
3. Skizofrenia
Ketiga
kelompok tadi dibandingkan dengan kelompok kontrol dari ketiga kelompok
gangguan jiwa dan kelompok kontrol ini yang hendak diteliti adalah riwayat
keagamaan mereka. Hasil penelitiannya sungguh mengejutkan, bahwa ternyata pada kelompok
kontrol lebih konsisten keyakinan agamanya dan pengalamannya,bila dibandingkan
dengan ketiga kelompok di atas. Temuan ini menunjukkan bahwa agama dapat
berperan sebagai pelindung daripada sebagai penyebab masalah (religion may have actually been protective
rather than problem producing).
Dalam
penelitian juga ditemukan bahwa penyalahguna narkotik minatnya terhadapa agama
terhadap agama sangat rendah bahkan boleh dikatakan tidak ada minat sama
sekali, bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Minat agama khusunya di usia
remaja, disebutkan bahwa jika religius di masa remaja tidak ada atau sangat
rendah, maka remmaja ini memiliki resiko lebih tinggi untuk terlibat dalam
penyalahgunaan obat/narkotika dan alkohol. Temuan ini sesuai dengan temuan di
Indonesia (Hawari, 1997 : 14).
Hasil
serupa diperoleh dari hasil penelitian Daun
dan lavenhar (1980), yang
menunjukkan bahwa mereka yang tidak menganut agama dan dalam riwayat tidak
pernah mennjalankan ibadah keagamaan di usia remaja, mempunyai risiko tinggi
dan tendensi ke arah penyalahgunaan obat/narkotika/alkohol.
Selanjutnya
dalam studi tersebut dikemukakan bahwa 89% dari alkoholik telah kehilangan
minat agama pada usia remaja (during
tenage years), sementara di pihak kontrol 48% minat terhadap agama naik.
Sedangkan 32% tidak mengalami perubahan. Hilangnya minat agama pada penderita
skizofrenia lebih rendah bila dibandingkan dengan kedua kelompok lainnya.
Dibandingakn dengan kelompok kontrol, kelompok skizofrenia tidak menjalankan
agamanya dan tidak serajin kelompok kontrol. Hasil temuan ini adalah sebagai
akibat dari ketidakharmonisan keluarga. Sebagai contoh misalnya pengajaran
agama pada keluarga-keluarga penderita skizofrenia. Tuhan dogambarkan sebagai
sosok yang suka menghukum dan bertindak kasar (73%). Sedangkan pada keluarga
dari kelompok kontrol Tuhan digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih sayang
dan baik hati (70%) (Wilson, Larson, dan
Meier). Temuan di atas merupakan
tantangan bagi sebagian psikiater yang beranggapan bahwa komitmen agama bagi kesehatan
jiwa. Kelompok kontrol yang merupakan kelompok yang tidak mengalami gangguan
jiwa ternyata lebih konsisten religiusitasnya daripada kelompok yang menderita
gangguan jiwa.
H.
Penerapan Psikoreligius Terapi di Rumah
Sakit Jiwa
- Psikiater, psikolog, perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang agamanya/kolaborasi dengan agamawan atau rahaniawan.
- Psikoreligius tidak diarahkan untuk merubah agama kliennya tetapi menggali sumber koping.
- Memadukukan milleu therapy yang religius ; kaligrafi, ayat-ayat, fasilitas ibadah, buku-buku, musik, misalnya lagu pujian/rohani untuk nasrani.
- Dalam terapi aktivitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama untuk pasien rehabilitasi.
- Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat kehidupan dunia dan sebagainnya.
- Sebelum teori Psikoanalisa, para sufi telah mempelopori metoda pengkajian yang mendalam dalam komunikasi yang menyentuh perasaan, menguak konflik-konflik alam bawah sadar pasiennya, mendeteksi was-was, kemarahan, takabbur, kesombongan, ria, dengki, menjadi sabar, wara, zuhud, tawakkal, ridha, syukur, cinta illahi.
I.
Kaitan antara Shalat dengan Ilmu
Keperawatan
Mengapa
sepanjang rentang kehidupannya Rasulullah jarang sekali mengalami sakit?
Benarkah pelaksanaan shalat menjadi salah satu rahasia kesehatannya? Adakah
hubungan antara shalat dengan kesehatan kita?
Wudlu Sebelum Shalat dan
Aspek Personal Hygiene-nya
Beberapa
tahun yang lalu di kota Denver Amerika, pernah terjadi wabah diare yang sangat
hebat. Menurut penelitian bdana epidemologi setempat, ternyata penyebabnya
adalah kebiasaan mereka dalam membersihkan diri dan bersuci dari najis yang
kurang sempurna. Mereka biasanya menggunakan tissue untuk membersihkan BAB.
Setelah diadakan peninjauan cara-cara bersucinya umat islam dengan wudlu sebelum
shalat dan thaharah (bersuci dari hadas besar dan kecil) mereka akhirnya
merubah pola kebersihannya dangen menggunakan air.
Melalui wudlu
minimal 5 kali sehari sebelum shalat umat islam akan dijaga kebersihannya dari
najis dan kotoran. Dalam wudlu terkandung oral
hygiene, vulva hygiene, dan personal hygiene yang sangat lengkap. Sehingga
memungkinkan untuk mencegah penyakit infeksi yang disebabkan oleh 5 F (Finger, Feaces, Food, Fly and Fluid). Lebih
jauh dengan cara berwudlu akan mencegah
terjadinya penyakit tertentu seperti yang pernah terjadi di daerah pertambangan
Amerika Utara. Akibat terakumulasinya timah hitam (plumbum) dan zat-zat Carsinogenic leinnya menyebabkan
tingginya angka kanker kulit. Sedangkan setelah diperbandingkan dengan negara
yang mayoritas peduduknya agama islam angka tersebut sangat kecil. Terutama
karena dengan wudlu minimal 5 kali sehari kebersihan kita dijaga dari akumulasi
zat-zat toksik pada tubuh kita. Berwudlu menjadi rahasia kesehatan Rasulullah
sepanjang rentang hidupnya, bahkan beliau sangat mewasiatkan untuk senantiasa
tampil besih, memakai wewangian, dan bersiwak (gosok gigi) dengan sempurna.
Pengaruh Gerakan Shalat pada
Sistem Cardiovaskular
Gerakan-gerkan dalam shalat merupakan gerkan-gerakan teratur yang dilakukan
sedikitnya 5 kali dalam satu hari sat malam, sehingga berdampak sebagai olah
raga yang teratur dalam siklus body
biorytmic dan irama sirkandian, di dalamnya terdapat unsur olah raga,
relaksasi, latihan konsentrasi, reduksi stress, dan pencegahan penyakit.
Apalagi bila shalat tersebut dilakukan dengan tepat waktu. Gerkan berdiri,
ruku’, duduk, dan sujud akan mempengaruhi kelancaran sistem sirkulasi darah dan
crdiovaskular tubuh. Hal ini berkaitan dengan tekanan hidrostatic yang
berpengaruh terhadap tekanan arteri dan sistem vascular yang lain. Pada saat
berdiri pompa vena tidak bekerja dan pada saat bergerak akan terjadi kontraksi
pada otot, vena tertekan sehingga memompa darah dari vena untuk menjaga
kelancaran sirkulasinya.
Beberapa
pakar kesehatan dunia, juga menyoroti masalah shalat ditinjau dari ilmu
kesehatan. Prof. Dr. Vanschreber mengatakan
bahwa gerakan shalat yang merupakan salah satu ibadah rutin dalam agama islam
adalah suatu cara untuk memperoleh kesehatan dalam arti yang seluas-luasnya dan
dapat dibuktikan secara ilmiah.
Aspek Psikoreligius Terapi
Pada Shalat
Menurut Ancok (1985 : 1989) dan Suroso (1994) ada beberapa aspek
terapiutik yang terdapat pada shalat, antara lai aspek olahraga, aspek
meditasi, aspek auto-sugesti, dan aspek kebersamaan. Di samping itu shalat
unsur relaksasi oto, relaksasi kesadaran indera, aspek katarsis (Haryanto, 2001).
Aspek Psikologi shalat
Berjama’a
Shalat
berjamah mempunyai dimensi psikologis tersendiri antara lain ;
rasabdiperhatikan dan berarti, kebersamaan, tidak adanya jarak personal,
penglihatan, perhahatian (terapi lingkungan), dan interdependensi (Haryanto, 2001).
1. rasa diperhatikan dan berarti
seseorang yang merasa tidak diperhatikan
atau diacujkan oleh keluarganya, masyarakat atau lingkungan dimana ia berada sering
mengalami gangguan atau goncangan jiwa. Bahkan yang stres, depresi, dan
berakhir dengan bunuh diri. Pada sholat berjamaah ada unsur-unsur rasa
diperhatikan dan berarti bagi diri seorang. Beberapa aspek pada dimensi ini
antar lain:
a.
memilih
dan menempati shaf. Dalam sholat siapa saja yang datang terlebih dahulu
”berhak” untuk menempa shaf atau barisan pertama atau terdepan. Dalam agama
islam, shaf terdepan dan sebelah kanan merupakan shaf yang utama, seperti nabi
katakan: ”sesungguhnya allah dan para malaikat-nya bershalawat atas shaf-shaf
yang pertama.” (hadist riwayat Abu Daud,
An-nasai dari Al-Bara).
”sesungguhnya allah dan para
malaikat-nya bershalawat atas shaf-shaf sebelah kanan.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dari ’Aisyah)
b.
setelah
duduk maka para jamaah mempunyai kebiasaan untuk bersalaman dengan jamaah yang
ada di kanan dan kiri bahkan dengan sebelah depan dan belakang. Hal ini
menunjukan bahwa ia mempunyai kedudukan yang sama dan berhak untuk menyapa
lingkungannya.
c.
Pada
saat mengisi shaf dan meluruskan shaf, apabila sholat akan dimulai maka
imam akan memeriksa barisan kemudian
akan ”memerintahkan” pada makmum untuk mengisi shaf yang kosong dan merapatkan
barisan. Hal ini juga tidak memperdulikan ”siapa makmum-nya”, jika ada shaf
yang kosong harus segera diisi dan juga kalau kurang rapat harus dirapatkan.
d.
Pada
saat membaca al-fatihah maka para makmum mengucapkan ”amin” (kabulkan do’a
kami) secara serempak, bersama-sama, dan juga dalam mengikuti gerakan imam. Tidak
boleh saling mendahului karna mungkin merasa mempunyai kedudukan atau atribut
lain yang lebih dari imam.
e.
Demikian
juga saat akan mengahiri shalat mereka mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri
serta saling bersalaman lagi.
2. Rasa kebersamaan
Menurut Djamaludin Ancok (1989) dan Utsman
Najati (1985), aspek kebersamaan
pada shalat berjamaah mempunyai nilai terapeutik, dapat menghindarkan seseorang
dari rasa terisolir, tepencil, tiddak dapat bergabung dalam kelompok, tidak diterima atau
dilupakan.
3. jraak personal
salah satu kesempurnaan shalat berjamaah
adalah lurus dan rapatnya barisan (shaf) para jamaahnya. Ini berarti tidak ada
jarak personal antara satu dengan lainnya. Masing-masing berusaha untuk
mengurangi jarak personal, bahkan kepada mereka yang tidak ia kenal, namun
merasa ada satu ikatan yaitu ”ikatan aqidah (keyakinan)”.
4. terapi lingkungan
salah satu kesempurnaan shalat adalah di
lakukan berjamaah dan lebih utama lagi dilakukan di masjid. Masjid dalam islam
memepunyai peranan yang cukup besar, masjid bukan sebagai pusat aktivitas beragama
dalam arti sempit namun sebagai pusat aktivitas kegiatan umat. Sehingga shalat
di masjid ini mengandung unsur terapi lingkungan (haryanto, 2001).
5. pengalihan perhatian
melakukan shalat berjamaah di masjid atau
mushola juga diharapkan akan juga mengalihkan perhatian seseorang dari
kesibukan yang sudah menyita segala energi yang ada dalam diri seseorang dan
kadang-kadang sebagai
penyebab stres. Lingkungan masjid atau
mushola akan memberikan suasana yang rileks, tenang, apabila ia bertemu dengan
jamaah lain.
6. melatih saling ketergantungan
yang dimaksud dengan shalat berjamaah
adalah minimal dua orang. Sehingga jika ia ingin disebut sebagai shalat
berjamaah, maka ia harus membutuhkan, menunggu, berkongsi dengan sedikitnya
satu orang.
7. membantu memecahkan masalah
shalat berjamaah di masjid sekarang ini
sudah banyak para takmir masjid
menyelenggarakan pengajian pendek yang lebih dikenal ”kultum (kuliah tujuh
menit)” setiap selesai shalat. Tentunya salah satu pokok pembahasannya adalah
mengenai permasalahan manusia, sehingga hal ini akan membantu pemecahan
masalah.
Psychoreligious Therpy Bagi
Klien Ketergantungan NAPZA
NAPZA adalah
suatu momok menakutkan yang membayang-bayangi dan menghantui serta siap
menghancurkan masa depan terutama generasi muda. Bagi pecandu, akibat akhir
setelah terlibat NAPZA mudah ditebak.pilihannya adalah kantor polisi, rumah
sakit jiwa, kuburan, atau selamat kembali jika ia mau bertobat dan insyaf.
Masalah NAPZA
sebetulnya masalah mental. Jadi focus yang terberat dalam penangannya sebenarnya
pada tahap rehabilitasi mental bukan pada terapi medik, itu yang dituturkan
oleh Prof. Dr. Dadang Hawari. Dalam
hal ini pendekatan agamalah yang lebih tepat.
Psikoreligius Islami untuk
Klien Ketergantungan NAPZA
Dalam islami,
penanganan masalah NAPZA sudah cukup lengkap baik segi preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Secara preventif, islami telah melarang dengan tegas yang
tertera dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2); 219 dan Surat al-Imron (3); 90-91
bahwa khamar(arak dan sejenisnya yang merusak fisik danmental manusia) adalah
haram. Dalam khamar terdapat dosa besar dan manfaat bagi manusia, tapi dosanya
lebih besar daripada manfaatnya dan implikasinya selain merusak langsung pada
dirinya juga akan menjerumuskan ke dalam permusuhan dan membenci antar sesama.
Hah ini sudah terbukti secara nyata dalam masyarakat, akibat NAPZA berupa
tindak kriminal, pemerkosaan, anarkis sampai si pemakainya mengalami
psikosis/skizofrenia.
Secara kuratif, dalam islam ada
berbagai macam cara, di antaranya;
a.
Niat
dan Mempunyai Motivasi Bertaubat
Langkah
awal yang merupakan kunci untuk keberhasilan terapi, klien harus mempunyai
motivasi dan niat yang ikhlas untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi, artinya
klien melakukan taubatan nasuha (tobat yang sebenar-benarnya) untuk tidak
mengulangi perbuatan dhalim-nya. Sesuai dengan teori motivasi bahwa terjadinya
tingkahlaku disebabkan oleh adanya kebutuhan yang dirasakan oleh individu.
Dorongan/kebutuhan→ motif →rangsangan→ perbuatan→ tujuan
|
Kuatnya
motivasi sangat menentukan keberhsilan tujunnya, hal ini dapat dilihat dari:
- Kuatnya kemauan untuk berbuat.
- Jumlah waktu yang disediakan.
- Kerelaan meninggalkan pekerjaan yang
lain.
- Kerelaan mengeluarkan biaya.
-
Ketekunan
dalam mengerjakan tugas.
Untuk mencapai tujuan melepaskan diri dari
NAPZA, klien harus mempunyai motivasi terlebih dahulu dan diikuti dengan
perbuatan diantara diantaranya mandi, shalat, djikir, shaum, dan menjalankan
syariat islam yang lainnya.
Hubungan
Pelaksanaan Shalat dan Defresi pada Lansia
Pada lansia,
terjadi penurunan konsentrasi dan aktifitas dopamin, norepinephrin, serotonin,
dan epinephrin. Menurut St. Pierre et
al., (1986) menurunnya konsentrasi kimia ini pada proses penuaan sebagai faktor
terjadinya depresi pada lansia (Mildred,1995).
Disebutkan juga defisiensi katekolamin, tidak berfungsinya endokrin dan
hipersekresi kortisol adalah perubahan kimia yang terjadi di dalam tubuh pada
keadaan depresi (Stuart dan Sundeen, 1995).
Penutup
Dari sejumlah
peneliti para ahli, ternyata bisa disimpulkan, bahwa komitmen agama dapat
mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit, meningkatkan kemampuan
mengatasi penyakit dan mempercepat pemulihan penyakit yang dipadukan dengan
terapi kedokteran. Agama lebih bersifat protektif daripada problem producing.
Komitmen agama mempunyai hubungan signifikan dan positif dengan clinical
benefit. Kesimpulan umum adalah seperti apa yang telah dikemukakan oleh Larson (1990), ”Masyarakat dan bangsa
kita adalah bangsa yang religius. Maka sepatutnyalah pendekatan keagamaan dalam
praktik kedokteran dan keperawatan dapat diamalkan dalam dunia kesehatan.
Dengan catatan bukan tujuan untuk mengubah keimanan seseorang terhadap agama
yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritualnya
dalam menghadapi penyakit.
No comments:
Post a Comment